SETELAH mengikuti materi selama tiga hari, peserta PKJTLN ditugaskan untuk melakukan peliputan di Kota Sawahlunto. Ada tiga lokasi yang menjadi tempat peliputan yaitu Museum Kereta Api, Lubang Tambang Mbah Soero, dan Museum Goedang Ransoem.
Sebagai awal kunjungan di Museum Goedang Ransoem, terlebih dahulu kami diperlihatkan film dokumenter museum. Setelah menonton film, kami diajak oleh pemandu, Monic, berkeliling museum.
Satu persatu benda yang ada di tempat tersebut dijelaskan. Mulai dari bangunan utama, tungku pembakaran, rumah jagal, kompresor, dan periuk.
"Periuk digunakan untuk memasak beras dan sayur. Periuk ini berdiameter 124 cm hingga mencapai 132 cm. Badan periuk setinggi 60 cm sampai 62 cm dan tebal 1,2 cm. Inilah yang digunakan oleh orang rantai memasak untuk para menir Belanda," katanya.
Dahulu ada ribuan orang rantai yang dipekerjakan oleh Pemerintah Belanda di lokasi tambang batubara Sawahlunto. Salah satunya Lubang Tambang Mbah Soero.
Sebagian besar merupakan tahanan politik maupun tahanan dengan kasus kriminal dari berbagai penjara di Indonesia. Agar tidak melarikan diri, seluruh pekerja tambang tersebut diikat menggunakan rantai pada bagian kedua kaki, yang saling mengikat antara tahanan satu dengan yang lainnya.
"Tak sedikit orang rantai pada masa itu tewas mengenaskan karena terus dipaksa bekerja menggali tambang batubara tanpa dilengkapi dengan peralatan yang memadai untuk menghindari dampak bahaya gas metan yang ada. Bahkan tak hanya itu saja, setiap hari orang rantai hanya diberi makan seadanya," jelasnya.
Identitas mereka tidak diketahui, karena hanya nomor tato ditempel menggunakan besi panas di badan yang menjadi identitas sampai mereka meninggal. Sampai saat ini belum diketahui siapa nama dibalik nomor-nomor tato tersebut.
Kota Sawahlunto adalah fenomena sejarah masa lalu Indonesia yang memicu kemarahan. Keberadaannya memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah batubara yang melibatkan Belanda dan orang rantai.
Dulu, 120 tahun lalu, Sawahlunto dikenal sebagai Kota Arang, tempat beroperasinya tambang batubara Belanda dengan para pekerja berasal dari Jawa dan Sumatera.
Mereka bekerja, makan, hingga tidur dengan rantai terikat di kaki. Itulah sebabnya, mereka disebut orang rantai.
Pada zaman Belanda, orang rantai dicap sebagai tahanan atau kriminal. Namun bagi Sawahlunto, kehadiran mereka menjadi pahlawan.
Tetes keringat dan nyawa orang rantai menghidupkan tambang batubara dan menjadi cikal bakal berdirinya Sawahlunto.
***
TULISAN ini terbit di Tabloid Profesi UNM edisi 220 pada Desember 2017. Terbit dalam rubrik LAPORAN PERJALANAN di halaman 11.