Mendaki Bulu Saukang: Rencana Tertunda yang Tidak Direncanakan Terlaksana

Sebenarnya tujuan kami ingin pergi makan soup ubi kayu dan minum sarebba di kebun sepupu saya. Di tengah jalan malah "tersesat" ke Puncak Bulu Saukang

SUDAH lama saya berencana mau mendaki ke puncak Bulu (gunung) Saukang. Tapi tidak pernah terlaksana. Bulu Saukang adalah gunung paling dekat dari Kota Makassar. Jaraknya hanya sekitar 30 kilometer dari pusat kota.

Selain paling dekat, mungkin juga sebagai gunung paling pendek di Sulawesi Selatan. Ketinggiannya hanya 332 meter di atas permukaan laut. Sehingga sangat cocok untuk pendaki pemula.

Bulu Saukang berlokasi di perbatasan antara Kabupaten Maros dan Gowa. Sebagian masuk wilayah Gowa, sebagaian Maros. Namun, titik start pendakian dimulai di Dusun Balocci, Desa Benteng Gajah, Kecamatan Tompobulu, Maros. Jika dari Kota Makassar, hanya sekira 30 menit menggunakan sepeda motor lewat Antang, lalu masuk ke Moncongloe, kemudian Tompobulu.

Di Dusun Balocci-lah saya berdomisili. Rumah saya tidak jauh dari titik start pendakian. Mungkin hanya sekitar 500-an meter. Pokoknya tidak juahlah. Kalau jalan kaki hanya sekira sepuluh menit atau dua menit naik sepeda motor ke titik start.

Hampir tiap hari saya menyaksikan pendaki dari luar Balocci berdatangan. Siang malam lalu lalang. Datang dan pulang secara bergantian. Tak kenal waktu. Bukan hanya hari libur. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat tetap ramai. Apalagi Sabtu dan Minggu, pendaki yang melakukan registrasi bisa mencapai seribu lebih dalam sehari.

Beberapa kenalan saya yang berdomisili di luar Maros, sudah berkali-kali mendaki di gunung ini. Sementara saya yang berdomisili dan tinggal di kaki Bulu Saukang, hanya selalu berencana. Belum pernah terealisasi (hingga tadi pagi sebelum ke sini).

Puncak Bulu Saukang
Puncak Bulu Saukang

***

KEMARIN, sepupu saya mengajak ke kebunnya di Parattimba. Lokasinya juga di kaki Bulu Saukang. Kalau dari rumah di Balocci, harus melintasi Bulu Saukang. Lokasinya tepat di sebelahnya. Jalan ke kebunnya sebagian satu jalur ke puncak Bulu Saukang. Tapi di pertengahan arahnya berbeda. Sebenarnya orangtua saya juga punya kebun di sana, di dekat kebunnya. Tapi kebun kami itu tidak dirawat.

Dia sedang panen ubi kayu. Sehingga mengadakan acara kecil-kecilan di kebun dan mengajak beberapa keluarganya termasuk saya. Dia ingin membuat soup ubi kayu (ada ayamnya juga), bakar-bakar ikan, goreng-goreng ubi kayu, dan yang istimewa adalah membuat Sarebba --minuman tradisional khas Bugis-Makassar.

Sarebba istimewa karena terbuat dari campuran jahe, gula aren, santan, dan rempah-rempah seperti merica. Sudah cukup lama saya tidak merasakan minuman khas yang rasanya perpaduan manis, pedas, dan gurih dari rempah bercampur santan ini.

Tibalah waktunya. Pagi tadi, saya bersama kakak perempuan saya dan anaknya (ponakan). Kemudian tante saya, keponakan saya dan suaminya beserta dua anaknya (cucu saya). Ups..hehe iya, dua anaknya itu panggil saya kakek: kakek muda.

Dari rumah, kami naik sepeda motor ke titik start pendakian Bulu Saukang. Sepeda motor diparkir di dekat tempat registrasi pendakian. Di sana sudah banyak sepeda motor terparkir. Ada juga seorang bapak bersama anak gadisnya yang usianya sekitar 10 tahun, baru tiba. Mereka bersepeda dari Makassar.

Bapak tersebut bersama anaknya terlebih dulu melakukan registrasi. Sementara kami tidak. Iyalah, tujuan kami bukan mendaki gunung. Tapi kami ingin ke kebun. Lagian kami adalah akamsi: asli kampung sini.

Saat melewati post registrasi, kami bertegur sapa dengan remaja yang berjaga, juga pemilik warung di titik start pendakian itu. Karena kami akamsi, jadi saling kenal. Hehe.

Pendakian pun dimulai. Mendaki melewati tanah merah yang dipenuhi bebatuan besar, sedang, dan kecil. Di sekitar jalanan cukup rimbun. Berbagai macam pohon tumbuh menjulang. Daunnya menghalau sinar matahari sehingga dalam perjalanan tidak terlalu kepanasan.

Jalanannya bersih. Terdapat signpost yang menunjukkan arah. Juga bekas jejak-jejak pendaki yang tiap hari berlalu lalang melewati jalanan itu. Tanah dan bebatuan bersih. Halus. Tentunya berbeda dengan batu di tepi jalanan yang jarang bahkan tidak pernah terinjak.

Dalam perjalanan, beberapa kali kami bertemu pendaki yang sudah pulang dari puncak Bulu Saukang. Sepertinya mereka mulai mendaki sejak pagi buta. Atau mungkin bermalam di puncak.

Kami terus mendaki. Menginjak bebatuan dari satu pijakan ke pijakan lain. Keponakan saya dan cucu pertama saya yang usianya 4 tahun terlalu bersemangat mendaki. Meski beberapa kali terjatuh, dia tidak menyerah. Bangkit dan lanjut melangkah. Hanya cucu kedua saya yang usianya belum cukup setahun digendong oleh bapaknya (keponakan mantu saya).

Beberapa menit berlalu, signpost bertuliskan "POS I" dicapai. Kakak saya singgah. Dia mengeluarkan handphone-nya dan mengaktifkan kamera lalu memberikan ke saya. 

"Foto dulu," katanya yang ingin mengabadikan momen di jalur pendakian Bulu Saukang.

Hal yang sama juga dilakukan ketika mendapat POS II. Yah, jalur ini masih sama, ke puncak Bulu Saukang dan kebun sepupu saya.

Bulu Saukang. Berfoto di POS III.
Bulu Saukang. Berfoto di POS III.

Di setiap pos, kakak saya selalu eksis. Dia juga belum pernah mendaki ke puncak gunung ini. Setelah beberapa kali jeprek, kami lanjut lagi perjalanan.

Selama perjalanan, pembahasan cukup beragam. Mulai makanan dan minuman yang akan dihidangkan oleh sepupu saya, hingga orang-orang yang selalu mendaki ke puncak Bulu Saukang.

Kakak saya bahkan cerita pernah ditertawakan oleh temannya karena belum pernah mendaki. Sementara temannya sudah pernah mencapai puncak. Padahal rumah kami berada di sekitaran kaki gunung ini. Kalaupun mau, jogging tiap pagi ke puncak pun bisa.

Dalam cerita-cerita yang tak ada habisnya dalam perjalanan inilah muncul ide untuk mendaki ke puncak. Mungkin inilah kesempatan dan waktu yang tepat. Kami sudah setengah perjalanan dari titik start hingga ke puncak.

Akhirnya dapat POS III. Di sini ada pertigaan. Belok ke kanan menuju puncak, sementara lurus ke kebun sepupu saya. Setelah beberapa saat berdiskusi dan menimbang antara berbelok atau terus, akhirnya diputuskan belok ke puncak Bulu Saukang.

Ponakan saya yang suami istri bersama dua anaknya (cucu saya) memilih terus. Keponakan saya yang satunya (anak kakak saya) juga ikut bersamanya. Mereka terus ke tujuan awal: kebun.

Sementara saya bersama kakak perempuan saya dan tante saya belok kanan. Kami mendaki lagi dan terus mendaki. Karena tidak ada niat mau ke puncak, atribut yang kami gunakan biasa saja. Pakai sendal karet yang kalau kaki berkeringat jadi licin. Kemudian pakai celana jeans yang agak sempit. Juga pakai jaket.

Berbeda dengan pendaki lain yang kami temui. Pakai celana yang longgar, training, kaos jersey, dan pakai sepatu mendaki.

Awalnya masih biasa saja. Kami masih nyaman melangkah. Mendaki, berpijak dari satu batu ke batu lainnya. Kadang hanya tanah kering. Sesekali melewati akar kayu.

POS IV pun didapat. Napas mulai tidak teratur. Jantung berdetak semakin kencang. Keringat keluar bercucuran. Punggung mulai membasahi baju. Kaki mulai berkeringat membasahi sendal. Dari POS IV ini, rintangan mulai muncul.

Mulailah menemukan bebatuan besar. Perlu langkah yang lebih tinggi untuk menaikinya. Dan ternyata menggunakan celana levis yang agak sempit sedikit mempersulit. Tapi sesekali celana di bagian persendian lutut saya tarik ke atas.

Lalu menemukan batu yang lebih besar dan tinggi. Tidak ada tempat untuk berpijak. Tapi ada tangga bambu yang disediakan. Kami naik tangga bambu itu. Kakak dan tante saya mulai ragu. Tapi di depannya ada dua anak kecil, usianya sekitar 10 tahun, dibawa oleh orang dewasa (mungkin bapaknya) lebih dulu melewatinya dan terus berjalan ke depan, ke atas menuju puncak.

Keraguan kakak dan tante saya mulai memudar. Mereka kembali melangkah. Mendaki menuju puncak mengikuti anak kecil yang sudah berada di depan.

Kemudian bertemu lagi batu besar. Kali ini tidak ada tangga bambu seperti sebelumnya. Tapi batunya tidak terlalu besar dan ada sedikit tempat untuk berpijak. Selain itu juga terdapat seutas tali yang jadi pegangan untuk melewati batu besar itu.

Pada bagian ini kaki kakak dan tante saya mulai ragu melangkah. Lututnya mulai gemetar melihat jurang di samping kirinya. Tapi rintangan itu masih mampu dilewati meski sedikit ragu. Hingga tibalah di pos terakhir sebelum puncak: POS V.

Di pos ini ada sebuah pohon besar. Daunnya rimbun. Di bawahnya cukup lapang. Banyak batu besar. Sangat nyaman untuk istirahat. Di sini kami singgah sejenak istrahat.

Puncak semakin dekat. Kata pendaki yang kami temui tinggal sekira 5 menit. Namun jalanan di depan mata makin sempit. Batu besar. Menanjak. Kakak dan tante saya sudah bukan ragu lagi. Mereka sudah putus asa untuk ke puncak. Meski diberi semangat, dia takut melihat jalanan menuju puncak itu. Sehingga mereka memilih tinggal istrahat di POS V.

Saya tetap melanjutkan perjalanan sendirian. Tidak sendirian juga sih. Ada pendaki lain yang sesekali saya temui. Yah hanya beberapa menit, bahkan tidak sampai lima menit, puncak bisa saya gapai. Rasanya sangat puas bisa sampai di puncak. Melihat tugu Bulu Saukan dengan bendera merah putih yang berkibar.

Pemandangan di puncak sungguh menakjubkan. Berada di ketinggian 332 MDPL, kampung saya terlihat jelas. Kota Maros. Kota Makassar. Sebagian Kabupaten Gowa juga terlihat jelas dari puncak gunung ini.

Di tugu itu sudah ada belasan orang bergantian berfoto. Mereka ada dua kelompok. Campur laki-laki dan perempuan.

Tidak jauh, sebelum tugu itu juga ada dua rombongan sedang duduk berteduh di balik batu besar. Semuanya perempuan. Mereka sedang antre ingin berfoto di tugu itu.

Saya berjalan perlahan sedikit demi sedikit menuju tugu. Mereka yang sudah berfoto pun pulang. Gantian. Satu kelompok meminta saya untuk memotret rombongannya. Setelah itu, gantian. Saya juga minta tolong salah satu dari mereka untuk memotret saya beberapa jepretan.

Setelah itu, saya pulang. Mulai turun dari puncak bersama pendaki lain. Di POS V saya bertemu dengan kakak dan tante saya yang masih selfi dan merekam beberapa spot. Setelah itu kami pulang. Eh bukan pulang, tapi kembali ke POS III. Dari pos ini kami belok kanan menuju ke kebun sepupu saya.

Bulu Saukang
Bulu Saukang


***

SEBELUM sampai di tujuan, terlebih dulu kami melewati kebun orangtua saya yang tidak dikerja. Lalu menemukan rumah dan kebun om saya. Ada beberapa tanaman di kebunnya. Di pegunungan ditanami rumput gajah, ubi kayu, jagung, pisang, nenas, lainnya. Sementara dataran rendah dijadikan sawah dan ditanami padi.

Setelah melewati kebunnya, tibalah di tujuan utama: rumah sepupu saya. Rumahnya berada di tengah-tengah kebun ubi kayu. Sebagian ubinya sudah ditebang. Batangnya dikumpulkan di pinggir kebun.

Di rumahnya sudah ramai. Ubi sudah dikupas. Tinggal dibelah dan dipotong kecil-kecil. Kemudian digoreng.

Bahan untuk soup seperti mie kering, ayam, dan bumbu-bumbunya sudah siap. Sarebba juga sudah jadi. Semua dikerjakan oleh kelompok ibu-ibu dan gadis-gadis.

Sementara bapak-bapak dan yang pemuda seperti saya, duduk sejenak, lalu bakar ikan hasil buruan semalam. Ada ikan lele, gabus, dan juga belut.

Matahari makin terik. Naik sampai tepat di atas kepala. Lalu perlahan condong ke arah barat. Jam menunjuk pukul 12.30 Wita. Soup ubi kayu sudah siap sedia. Waktunya makan siang.

Karena rumahnya cukup kecil, maklum rumah kebun, jadi waktu makan dibagi menjadi dua. Gelombang pertama adalah kaum adam. Setelah semua kenyang, baru dilanjut gelombang kedua oleh kaum hawa.

Usai makan siang, kaum adam turun di kolong rumah nongkrong. Bercerita tentang berbagai macam. Dua cerek sarebba pun datang bersama gelas. Kemudian disusul dua piring ubi goreng. Mulailah cerita tentang panen, binatang yang mengganggu tanaman, hingga jokes bapack-bapack keluar membuat tawa jadi pecah. Hingga tak terasa satu cerek sarebba tandas.

***

CAKRAWALA mulai mendung. Guntur sesekali menggelegar. Hari beranjak petang. Setelah kaum hawa mencuci semua peralatan memasak dan makan, kami siap-siap pulang. Sekira setengah lima, kami meninggalkan tempat acara.

Saat ingin pulang, saya diberi beberapa ubi kayu yang baru dicabut. Dengan senang hati saya terima dan berterima kasih. Saya masukkan ke dalam kantong plastik dan memikulnya pulang.

Jalanan yang dilalui masih sama. Dalam perjalanan, kami bertemu lebih banyak lagi pendaki. Sepanjang perjalanan dari POS III sampai di tempat parkiran, orang yang ditemui nyaris tanpa jeda. Sangat ramai. Parkiran hampir full.

Demikianlah, cerita perjalanan saya hari ini. Terimakasih sudah membaca sampai selesai. Salam.(*)

About the Author

Blogger pemula dari Makassar.

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di bawah ini dan bagikan pendapat Anda tentang artikel di atas.