Meredam Hoaks, Ujaran Kebencian, dan Konflik
Bagaimana meminimalisir hoaks dan ujaran kebencian. Dua kata yang tidak asing lagi di telinga kita masyarakat Indonesia.
Semua orang diberi waktu 24 jam dalam sehari. Namun tidak semua bisa memanfaatkan waktu 24 jam secara optimal. Apalagi di hari Minggu. Waktunya libur, rebahan di kamar seharian atau jalan-jalan ke tempat wisata. Sejenak merefresh pikiran setelah lima atau enam hari beraktivitas dengan kampus atau pekerjaan.
Saya pernah tidak sengaja melihat status teman saya lewat tetapi sangat bermakna dan tinggal dipikiran saya hingga saat ini. Ia mengatakan seperti ini. "Gunakan waktu libur dengan kegiatan yang produktif. Karena ketika kita hanya bersantai-santai, pesaing kita dalam melamar dunia kerja nantinya, saat ini sedang memanfaatkan waktunya dengan baik untuk mempersiapkan dirinya".
Sebenarnya banyak kegiatan-kegiatan produktif di Makassar ketika hari libur. Entah itu kegiatan-kegiatan di komunitas, atau seminar-seminar, itu kebanyakan dilaksanakan hari libur.
Hari ini saya sempat mengikuti salah satu seminar di Kampus Institut Parahikma Indonesia. Hanya dengan modal Rp10.000, saya sudah bisa dapat snack sambil menerima materi, kemudian dapat door prize, dan terakhir juga dapat sertifikat dan makan siang.
Ketimbang mungkin saya hanya tinggal di kamar rebahan, kemudian pergi ke warung makan dengan harga Rp10.000 juga, yah disayangkan. Di seminar itu, saya bukan hanya dapat materi, sertifikat, dan makan. Tetapi saya bisa berkenalan dengan pemateri dan beberapa pesertanya. Yah setidaknya menambah jaringan dan saya juga bisa masuk melihat dan mengetahui kampus IPI itu sendiri.
Ini kali kedua saya ke Institut Parahikma Indonesia. Seminar ini diadakan oleh salah satu teman yang juga sekomintas yang pernah berjelajah di Amerika Serikat dalam rangka program SUSI.
Project dalam seminar yang ia buat adalah meminimalisir hoaks dan ujaran kebencian. Dua kata yang tidak asing lagi di telinga kita masyarakat Indonesia.
Hampir tiap hari kita melihat hoaks dan ujaran kebencian berseliweran di media sosial ataupun dalam kehidupan nyata. Saya pun kadang dengan sengaja ataupun tidak sengaja sering ikut dalam menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian.
Baik itu hanya dalam bentuk candaan. Bagaimana tidak, saya sering merasa puas dan merasa sangat bahagia jika ada kesalahan teman saya yang bisa dijadikan callaan. Yah mungkin yang saya lakukan sama teman itu hanya bercanda untuk memecah tawa ditengah stress menyusun skripsi.
Baiklah, saya sedikit akan mereview kembali materi yang saya dapatkan dari Direktur Eksekutif KITA Bhinneka Tunggal Ika, Therry Alghifary dan Ibu Aminah dari Kesatuan Pemuda Nusantara & Fatayat NU Makassar yang juga merupakan dosen IPI.
Hoax and Hate Speech
Menurut pemateri, Ibu Aminah, istilah hoaks awalnya muncul di Amerika pada film bertajuk "The Hoax". Hoaks bertujuan untuk membentuk opini pubik, menggiringnya hingga menjadi presepsi. Adapula yang menggunakannya untuk sekadar bersenang-senang serta menguji kecerdasan dan kecermatan si penerima. Baik itu pengguna sosmed, pendengar, maupun pembaca.Kemudian dalam wikipedia, Silverman mendefinisikan hoaks sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran. Hoaks biasanya disebarkan melalui narasi, gambar, video, meme, hingga melalui media massa.
Sementara ujaran kebencian atau hate speech merupakan tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.
Dalam arti hukum, hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku, pernyataan tersebut, atau korban dari tindakan tersebut.
Hoaks dan ujaran kebencian ini sangat bising di media sosial utamanya di twitter. Para buzzer yang dibayar oleh oknum tertentu dengan sengaja ingin mengadu domba atau bahkan memecah berbagai belah pihak. Sehingga kita harus meredam semua itu.
Masih segar pemilihan presiden tahun lalu yang memakan banyak korban masyarakat golongan bawah. Mereka menerima informasi hoaks dan meneruskan sehingga terjadi konflik di mana-mana. Sementara itu, pihak yang didukung mesra-mesra aja.
Konflik
Pada setiap konflik pasti selalu ada 3 unsur yakni dua belah pihak yang berseteru. Kemudian adanya tujuan yang masing-masing ingin dicapai, dan ketiga ialah adanya hubungan antara keduabelah pihak.Dalam materi yang dijelaskan Kak Therry, konflik sering terjadi hanya karena perseteruan atau konflik antar individu. Tetapi karena adanya provokator sehingga bisa meluas.
Ia kembali menjelaskan tentang konflik yang sempat terjadi di Ambon. Konflik tersebut awalnya hanya perkelahian dua orang pemuda. Tetapi kemudian meledak dan terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.
Konflik yang sering kita lihat sebenarnya hanya sebuah peristiwa dan akibat dari konflik itu sendiri. Kita jarang sekali mengetahui penyebab ataupun akar konflik itu sendiri.
Banyak hal yang bisa menjadi akar konflik. Mulai dari kesenjangan ekonomi, diskriminasi, tebang pilih, korupsi dan lain sebagainya.
Hal tersebut bisa saja terpendam dalam jangka waktu yang lama, dan seketika jika ada yang memicu atau persinggungan sedikit di permukaan, maka akar konflik itu akan keluar ke permukaan.
Dan parahnya lagi, peristiwa ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang bersalah dan memiliki kepentingan tertentu. Muncul provokator, informasi hoaks, dan ujaran kebencian hingga pada akhirnya terjadi konflik yang besar-besaran.
Simak animasi penjelasan konflik.
Berpikir Kritis dan Berempati
Jika hoaks dan ujaran kebencian tidak segera diredam, maka hasilnya kemungkian akan terjadi konflik. Sehingga perlu sikap atau pemikiran yang kritis dalam menerima setiap informasi yang kita terima baik itu secara lagsung ataupun melalui media sosial.Kita perlu berpikir kritis untuk menyaring setiap informasi yang ada. Menguji validitasnya, kemudian relevansi, serta sumber informasinya. Jika hal tersebut tidak jelas, bisa saja informasi yang kita dapatkan itu hoaks.
Selain itu, kita juga harus memiliki empati sebelum menyebarkan informasi. Banyak informasi yang mungkin sudah benar tetapi bisa memicu konflik. Sehingga diperlukan empati atau memilah informasi yang hanya bisa menguntungkan dan tidak merugikan siapapun.
Bagikan Artikel Ini