Refleksi Adaptasi Budaya

Bercerita mengenai budaya, tentunya setiap kelompok maupun individu memilikinya. Bangsa Indonesia dikenal kaya akan kebudayaannya.


DALAM ilmu sosial antropologi, budaya adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan semua pola berpikir, merasakan, dan berperilaku dari sekelompok manusia. Kata Hofstede, budaya adalah sesuatu yang dipelajari, tidak diwariskan. Budaya diperoleh dari lingkungan sosial bukan dari gen keturunan.

Waktu kecil, ibu selalu melarang memanggil orang langsung menyebut namanya. Bapak, mama, nenek, kakek, om, tante, atau kakak. Bahkan, sebelum sekolah, nama ibu dan bapak saya tidak tahu. Saya baru tahu, saat mendaftar sekolah dasar, dan dalam biodata, nama mereka dituliskan.

Kata ibu, tidak sopan jika memanggil orang dengan namanya. Apalagi mereka yang lebih tua.

Saya memulai sekolah di MIS DDI Sakeang, Maros. Siswanya banyak dan semuanya muslim. Dalam satu kelas, saya berjumlah 32 orang. Di sekolah itu, saya memanggil pengajar dengan ibu guru atau bapak guru.

Ketika naik kelas tiga, tahun 2005, kami sekeluarga merantau ke Palu, Sulawesi Tengah. Kemudian lanjut sekolah di MIS Al-Khaeraat Kanawu. Siswanya sangat sedikit.

Waktu itu, hanya saya sendiri kelas 3. Kelas 2 hanya empat orang, dan kelas 1 hanya tiga orang. Kelas 4 tidak ada, sementara kelas 5 hanya satu orang. Kelas 6 tidak ada.

Siswa di sana memanggil pengajar dengan ustadz. Ada juga langsung memanggil dengan guru tanpa didahului kata bapak atau ibu. Begitupun kepada orang yang lebih tua, mereka langsung memanggil namanya.

“Temanku tadi bilang begini, begitu, ke bapaknya, sama ke bapak guru,” kataku pada ibu yang selalu melarang seperti itu.

“Biarmi kalau orang bilang begitu, tapi janganki’ kita,” kata ibu.

Saya lanjut di SMP yang masih seatap dengan SD. Namanya SMP Satap Maradindo.

Setelah lulus SMP, saya mendaftar di SMK Nusantara Palu. Ingin jadi perawat, seperti kakak saya. Tapi sayang saya tidak lulus.

Akhirnya mendaftar di SMK Kristen Bala Keselamatan Palu, mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan. Salah tiga sekolah swasta yang masih buka waktu itu.

“Lanjut di situ saja nak. Daripada menganggur setahun, nanti kita’ lupa kebiasaan belajar,” kata ibu.

Bisa dibilang budayanya sangat bertentangan saat di madrasah dulu yang sebelum masuk kelas, terlebih dulu baris di depan kelas, membaca surah-surah pendek, ayat kursi, doa belajar, syahadat, dan penutup Al-Fatihah. Begitupun saat ingin pulang.

Ketika bertemu guru atau teman selalu mengucapkan salam. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Di SMK Kristen BK Palu, siswanya memang banyak. Seangkatan, ada 200 orang dari lima jurusan. Mayoritas beragama nasrani. Beberapa beragama hindu, dan hanya dua orang muslim. Saya dan teman di jurusan komputer dan jaringan.

Sebelum masuk kelas, semua siswa dan guru apel. Menyanyi memuji Tuhan, membaca alkitab, berdoa, dan mengakhiri apel dengan mengatakan haleluya sambil bubar. Pun ketika pulang, seperti itu.

Ketika bertemu guru dan teman, juga mengucapkan salam. Tetapi bukan Assalamualaikum, melainkan selamat pagi, siang, sore, atau malam.

Beberapa budaya (wajib) saya ikuti, seperti ikut ibadah osis setiap hari Sabtu, natalan, sesekali ikut tepuk tangan saat mereka menyanyi. Tetapi saya tidak ikut dalam mata pelajaran agama, bernyanyi, membaca kitab. Saya berat untuk melakukannya.

Di SMK, karena siswanya banyak, jiwa kompetisi saya muncul. Meskipun tidak pernah mendapat peringkat 1 di kelas, tetapi selalu berusaha mengejarnya. Begitupun teman saya yang selalu peringkat 1. Selalu kumpul tugas sendirian, dan enggan berbagi.

Sangat beda waktu di madrasah dulu. Saya tidak memiliki jiwa kompetisi dalam belajar, yah, karena hanya sendiri. Saya baru punya teman waktu kelas 6. Namanya Agustiawan, pindahan dari sekolah lain.

Saya lanjut kuliah di Universitas Negeri Makassar. Tepatnya di Fakultas Teknik. Tentu bangga –waktu itu, bisa masuk kampus negeri. Pasalnya, sebelum-sebelumnya, sekolah saya selalu swasta.

Di kampus yang mayoritas muslim ini, saya tidak lagi melakukan apel, berdoa serta membaca surah-surah pendek, ataupun seperti waktu SMK sebelum belajar.

Jiwa kompetisi dalam kelas juga sudah memudar. Mungkin karena tidak ada lagi yang namanya peringkat 1, 2, 3 dan seterusnya. Dalam belajar, kami selalu kerja kelompok, bahkan kerjasama seangkatan. Berharap sama-sama masuk, pun wisuda nanti. Menjunjung tinggi solidaritas, kata kami waktu itu.

Itulah sedikit cerita perubahan-perubahan perilaku dan pola pikir yang saya alami. Cerita ini masih dalam dunia pendidikan dan saya hanya menulis sedikit dan singkat.

***

Baiklah, lanjut sedikit tentang materi budaya yang dibagikan kak Therry. Dalam materinya, Hofstede membagi lapisan tingkat budaya menjadi enam.

  • Budaya di level nasional, budaya ini selaras dengan negaranya atau orang yang bermigrasi seumur hidupnya.
  • Budaya di tingkat regional, etnis, agama, dan afiliasi bahasa.
  • Tingkatan jenis kelamin atau gender, selaras dengan seseorang lahir sebagai anak laki-laki atau perempuan.
  • Tingkatan generasi, misalnya pemisahan generasi kakek, orang tua, dan anaknya.
  • Tingkatan kelas sosial, selaras dengan kesempatan pendidikan dan dengan profesi atau pekerjaan seseorang.
  • Untuk mereka yang bekerja, terdapat level budaya organisasi atau perusahaan.

Dalam kehidupan, cara hidup masyarakat terbagi menjadi dua, individualis dan kolektif.

Masyarakat kolektif adalah kelompok masyarakat yang lebih mementingkan kepentingan kelompoknya daripada kepentingan dirinya sendiri sebagai individu. Sementara masyarakat individualis, lebih mementingkan kepentingan individunya dibandingkan dengan kepentingan kelompok.

Dari cerita yang saya bagikan selama sekolah dan kuliah, terdapat beberapa lapisan kebudayaan di tingkat regional. Dalam hal ini, etnis agama.

Dalam perantauan, saya bertemu dengan berbagai macam budaya dan bahasa. Di SMK, saya banyak bergaul dan belajar budaya agama nasrani, dan hindu. Bagaimana cara berperilaku mereka, cara beribadah, makan, mengucapkan salam, dan sebagainya.

Budaya kolektiv dan individualis juga. Baik di sekolah maupun di kampus. (*)

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url