Pada Akhirnya Semua Akan Mati
HARI ini, 21 Agustus 2021, tante saya, Mariama, meninggal dunia. Usianya sudah 58 tahun. Ia adalah kakak pertama bapak saya.
Sudah 15 Jumat, ia merasakan sakit. Berawal saat nenek saya, ibunya, kecelakaan dari motor dan mengeluarkan banyak darah dari kepala dan betis. Tante saya jantungan, sesak nafas, melihat kejadian tersebut. Apalagi ibunya, yang sudah berusia 76 tahun.
Sejak saat itu, kondisinya sudah tidak pernah stabil. Sakit. Penyakitnya mulai bertambah. Badannya yang sebelumnya sehat dan berisi, kian hari makin kurus.
Berbagai macam obat dikonsumsi. Juga sudah beberapa kali ke puskesmas untuk berobat. Hasilnya juga masih sama. Belum pulih.
Pada hari Jumat lalu, almarhum sudah sekarat. Saudara, keluarga, kerabat, dan tetangga menjenguk di rumahnya. Kondisinya sempat membaik, dan kembali lagi kambuh dan semakin memburuk.
Hingga pagi tadi, Sabtu 21 Agustus 2021, ia menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggalkan 5 orang anak. 3 sudah berkeluarga, dan dua lagi masih sekolah di bangku menengah atas.
Mendengar kabar tersebut, sangat sedih rasanya. Meskipun saya sadar bahwa semua yang bernyawa akan mati. Muda, sehat, apalagi yang sudah tua dan sakit-sakitan seperti tante saya.
Kesedihan itu muncul karena adanya hubungan yang sangat dekat. Ia adalah kakak tertua bapak saya.
Saat pertama kali ingin kuliah, saya tinggal di rumahnya. Cukup lama. Makan, tidur, sahur dan buka puasa bersama, dan juga merayakan hari raya kemenangan bersama keluarganya.
Saya tinggal dan melalui hari demi hari di rumahnya. Saat itu kedua orangtua dan saudara saya jauh di Palu, Sulawesi Tengah.
Yah, dari rumahnya di Balocci, Maros, saya berangkat ke Makassar untuk kuliah. Saya sering diantar oleh sepupu saya, Kakak Adi, anak almarhum.
Jika beras saya di indekos sudah mau habis, saya akan pinjam motor teman untuk pulang ke rumahnya. Tanpa meminta, almarhum tante saya sudah mengetahui kalau beras di indekos sudah sedikit.
Maka dia langsung pergi menapis beras dan memasukkan ke dalam karung untuk diberikan kepada saya dibawa ke Makassar.
Begitu seterusnya sampai kedua orangtua saya juga kembali ke Maros dua tahun kemudian. Orangtua saya juga sempat tinggal di rumahnya beberapa bulan sampai bapak membangun rumah sementara.
Sejak rumah sementara keluarga kami jadi, barulah kami meninggalkan rumah tante saya itu.
Bagaimana tidak sedih. Hubungan saya dengannya sudah lebih dekat dari sekadar tante. Dua tahun dia seperti orang tua angkat, saat kedua orang tuaku jauh di Palu.
Kini, almarhum telah tiada. Namun jasa dan kebaikannya akan selalu hidup dan terkenang.
Ia juga sudah tenang. Tidak lagi merasakan sakit, siang dan malam di dunia yang fana ini.
Semoga almarhum diterima di sisi-Nya. Aamiin. (*)
Bagikan Artikel Ini