Memikat Pembaca dengan Storytelling
BERCERITA. Kali ini saya ingin berbagi materi tentang storytelling. Materi ini saya dapatkan dalam kelas tanpa batas Tempo Institute.
Sebenarnya, materinya lebih panjang. Ada tambahan pejuang iklim. Judulnya Storytelling dalam Mengatasi Krisis Iklim.
Namun, kali ini saya hanya ingin berbagi terkait storytelling saja. Apa dan bagaimana storytelling itu.
Dalam bahasa Indonesia, storytelling dapat diartikan secara singkat sebagai: bercerita.
Karena itu, intinya adalah adanya cerita. Sebagian besar tulisan adalah cerita seseorang atau sekelompok orang.
Hal ini juga yang membedakan antara tulisan storytelling dengan tulisan lain, seperti berita dan opini.
Bercerita atau storytelling menjadi penting. Karena cerita tidak hanya menyampaikan informasi. Melainkan juga mampu membangkitkan emosi pembaca yang pada akhirnya membuat mereka tergerak.
Yang dibangkitkan oleh cerita bukan hanya pengetahuan, tapi juga kaitan emosi dan ajakan untuk berbuat.
Unsur Dalam Cerita
Untuk memahami lebih lanjut soal storytelling, kita harus memahami unsur-unsur dalam cerita. Ada banyak bagian penting, tapi yang utamanya seperti tokoh, alur cerita, kutipan, deskripsi, dan menghibur.
1. Tokoh
Tokoh utama adalah pusat dari sebuah cerita. Semua cerita pasti ada tokohnya. Ini mutlak.
Oleh karena itu, hal pertama yang harus dicari saat membuat storytelling adalah tokohnya. Siapa yang ingin kita ceritakan.
2. Alur Cerita
Dalam membuat cerita, banyak penulis yang memakai cara singkat. Kadang hanya mengutip omongan sang tokoh yang ditemuinya dalam wawancara.
Ini cara mudah, tapi tulisan yang muncul bukan lagi tulisan cerita atau storytelling. Melainkan tulisan yang berisi opini tokoh. Karenanya, selain tokoh, kita perlu alur cerita.
3. Kutipan
Kutipan adalah unsur yang sangat penting. Tanpa ada kutipan, tokoh kita menjadi tidak hidup. Orang yang membacanya seperti sedang menonton film bisu. Tidak ada tenaga dan kekuatan untuk menarik emosi pembaca.
Untuk mendapatkan kutipan yang emosional dan menarik, kita perlu lama mengobrol dengan tokoh kita.
Karakter orang Indonesia yang kurang ekspresif dan cenderung low profile membuat banyak penulis kesulitan mendapatkan kutipan yang kuat. Kita perlu memancingnya berkali-kali hingga muncul kalimat yang layak dikutip.
4. Deskripsi
Cerita yang baik adalah ketika kita mampu membawa pembaca masuk ke dunia yang berbeda.
Untuk bisa membawa pembaca ke dunia yang sedang kita tulis, kita butuh detail deskripsi. Tidak semua hal bisa dilihat dari foto atau video. Terkadang penulis harus menuliskan detail tertentu untuk membawa dunia yang jauh itu.
Namun hati-hati, seringkali penulis terjebak pada adjektiva atau kata sifat. Deskripsi berbeda dengan kata sifat. Ini karena kata sifat itu sering membuat pembaca keliru menafsirkan.
Deskripsi itu lebih pasti, sedangkan kata sifat itu relatif. Misalnya, ganteng, cantik, luas, pendek, berat, ringan. Semua itu tergantung persepsi orang yang membacanya. Agar tidak terjadi salah pengertian pastikan dulu deskripsi yang akan kita tulis.
5. Menghibur
Kenapa orang senang mendengar, membaca, atau menonton cerita? Karena mereka dihibur.
Karenanya, unsur hiburan ini harus lekat pada cerita. Jangan membuat tulisan yang kaku dan seperti sebuah makalah ilmiah. Buatlah cerita yang membuat pembacanya bisa rileks.
Hal yang sering mengganggu hiburan sebuah cerita adalah detail teknis. Angka, data, hasil penelitian, temuan laboratorium, semua itu akan membuat dahi berlipat.
Hindari atau setidaknya minimalkan penggunaannya. Bukannya tidak boleh, karena kita pasti membutuhkan data untuk mendukung cerita, tapi minimalkan penggunaannya.
Setelah memahami unsur-unsur dalam cerita, selanjutnya adalah bagaimana mengumpulkan bahan dan membuat kerangka tulisan.
Ide tulisan dan angle yang tajam tidak ada maknanya jika tak diikuti dengan proses penggalian bahan.
Ibarat memasak, kita harus belanja ke pasar untuk membeli bumbu dapur, sayur mayur, ikan dan lauk pauk lainnya seperti yang ada dalam daftar belanjaan.
Tiga Alat Mengumpulkan Bahan
Sebelum mulai menulis, kita menggunakan tiga alat untuk mengumpulkan bahan: riset, pengamatan atau reportase, dan wawancara.
1. Riset
Riset yang dimaksud disini bukan penelitian ilmiah yang dilakukan ilmuwan guna membuktikan hipotesis. Aktivitas riset adalah mencari dan mengumpulkan data dan informasi tambahan.
Sumbernya bisa dari laporan program atau kegiatan satu lembaga swadaya masyarakat, instansi pemerintah atau jurnal ilmiah. Sumber lainnya dari media massa dan media sosial serta dunia maya melalui Google Search.
Miliaran data dan informasi bertebaran di dunia maya. Apa data dan informasi yang kita cari? Patokannya pada angle.
2. Reportase
Tujuan reportase adalah mengumpulkan informasi agar pertanyaan di dalam angle dapat memperoleh jawaban. Pada waktu datang ke lapangan, kita mesti membuka mata, telinga, merasakan bau.
Informasi yang rinci tentang kondisi di lapangan tersebut menjadi warna dalam tulisan. Publik akan terus membaca jika kita mampu mendeskripsikan suasana atau kondisi lingkungan alam dan sosial di sekitar objek.
3. Wawancara
Wawancara menjadi elemen kunci dalam pengumpulan bahan tulisan. Sumber sekunder sangat penting karena feature profil menyoroti sosok sketsa.
Pembaca akan lebih percaya jika ada testimoni atau pengakuan dari orang atau pihak-pihak yang merasakan manfaat.
Setelah semua bahan terkumpul, tahap berikutnya adalah membuat kerangka tulisan.
Bahan-bahan untuk menulis juga berlimpah dari reportase (kunjungan ke lapangan) dan riset dari media massa dan media sosial.
Persoalannya adalah bagaimana menuliskannya sehingga “enak dibaca dan perlu,” mengutip dari jargon Tempo. Di sinilah arti penting outline atau kerangka tulisan.
Outline akan memandu kita menulis. Di dalamnya kita masukkan data dan informasi yang dirangkai dalam bentuk cerita untuk menjawab pertanyaan di dalam angle.
Perlu ditegaskan bahwa angle menjadi landasan utama kerangka tulisan sehingga paragraf-paragraf yang disusun tetap fokus dan tidak melebar ke mana-mana.
Paragraf awal biasanya menjadi tempat lead atau teras tulisan. Selain judul tulisan, bagian ini menjadi daya tarik pertama bagi pembaca untuk memutuskan apakah akan terus membaca atau tidak
Setiap paragraf mesti terdiri atas kalimat-kalimat yang mendukung ide paragraf itu. Sebaiknya memuat contoh, penjelasan, fakta dan kutipan.
Pakai setepat mungkin kata penghubung untuk menyatukan fakta, data, alasan, kalimat dan paragraf. Kata penghubung itu antara lain: dan, atau, tapi, maka, karena, lagipula, dan sebagainya.
Upayakan menghindari penggunaan kata atau kalimat yang sama secara berurutan. Gunakan sinonim dan deskripsi.
Teknik Menulis Storytelling
Tulisan menarik jika dipaparkan secara jelas dan runtut. Publik akan membacanya sejak judul, lead, paragraf demi paragraf hingga akhir tulisan.
Ibarat minum es jeruk lewat sedotan, air yang masuk ke kerongkongan mengalir lancar. Namun apa yang terjadi jika tiba-tiba sedotannya macet Tentu tidak nyaman.
Begitu juga dengan membaca, di tengah jalan tiba-tiba ada alinea yang aneh, dan menghentikan kita membaca lebih lanjut.
Memilih Judul dan Lead
Judul dan teras (lead) menjadi penarik orang untuk membaca bagian tulisan selanjutnya. Membuat judul atau tajuk tidak selalu mudah.
Banyak penulis yang terjebak dengan ini. Sehingga macet atau berhenti cukup lama untuk memulai menulis.
Oleh karena itu, jangan terpaku untuk membuat judul tulisan terlebih dulu. Langsung saja menulis berdasarkan outline yang sudah dibuat.
Judul bisa ditulis belakangan atau pada akhir kita membuat tulisan. Bila kita bersikukuh membuatnya di awal, kita dapat saja terpenjara olehnya sehingga informasi malahan terkungkung oleh judul.
Dalam menulis judul, jangan gunakan akronim atau singkatan. Judul berita singkat adalah jernih, jelas dan ringkas. Sementara judul berita atau tulisan storytelling lazimnya berwarna, basah lagi menggigit.
Boleh juga ada unsur parodi, efek bunyi, atau peribahasa, dengan catatan tidak melupakan aspek kebahasaan dan relevansinya. Bila ada istilah asing, diupayakan untuk mencari padanannya dalam bahasa Indonesia.
Judul semestinya eye-catching, meringkus perhatian dan membuat pembaca tertarik: bisa genit, nakal, satir, parodikal tetapi tidak ngawur.
Teras/lead merupakan paragraf atau alinea awal dalam tulisan storytelling. Karena letaknya di awal, lead haruslah menarik atau menggigit dan menjadi alat pancing untuk pembaca.
Dalam feature, ada beberapa jenis teras atau lead seperti lead ringkasan (summary lead), lead bercerita (narrative lead), lead deskripstif, lead kutipan (quotation lead), lead epingram, dan lead sensasi.
1. Lead Ringkasan (Summary Lead)
Lead ini serupa dengan paragraf pertama dalam ”berita keras”. Yang ditulis hanya inti ceritanya.
Lead ringkasan ini sering dipakai bila kita mempunyai persoalan yang kuat dan menarik, yang akan laku dengan sendirinya.
2. Lead Bercerita (Narrative Lead)
Lead ini kerap dipakai dalam storytelling, karena memang dibuat bercerita, seperti halnya dalam novel atau cerita pendek.
Tekniknya adalah menciptakan suasana dan membiarkan pembaca menjadi tokoh utama. Mereka terlempar ke tengah-tengah tempat yang kita ceritakan.
3. Lead Deskriptif
Sekilas lead ini mirip dengan lead bercerita. Bedanya, dalam lead bercerita ada adegan yang dimunculkan.
Kita seperti melihat video atau film. Sedangkan di lead deskriptif, yang dimunculkan adalah penggambaran satu adegan tertentu. Kita seperti melihat foto.
4. Lead Kutipan (Quotation Lead)
Kutipan yang dalam dan ringkas bisa membuat lead menarik, terutama bila yang dikutip orang yang terkenal.
Belakangan, lead kutipan murni (satu paragraf hanya berisi kutipan) sudah mulai jarang digunakan. Kutipan lebih banyak dipakai sebagai bagian dari lead bercerita.
5. Lead Epigram
Lead ini menggunakan ungkapan atau pepatah. Namun harus diingat, ungkapan atau pepatah yang digunakan haruslah familiar di masyarakat.
6. Lead Sensasi
Sering disebut lead ledakan, yaitu lead yang menggemparkan atau mengagetkan.
Selain memilih judul dan lead yang memikat, yang tak kalah penting adalah membangun paragraf yang enak dibaca.
Kerangka tulisan menjadi panduan selama menulis, sejak dari titik awal hingga bagian akhir naskah. Bisa jadi penulis menyimpang dari outline karena terpikat oleh ide-ide baru.
Upayakan gagasan tersebut tetap dalam satu kesatuan. Andaikata tidak dapat dimasukkan, kita dapat merevisi outline atau mengubah topik utama. Namun tetap dalam koridor menjawab angle penulisan.
Satu hal penting dalam menulis adalah penguasaan kita terhadap bahan dan persoalan. Dengan memahami masalah kita akan tempatkan peran sosok tersebut.
Tulisan yang menarik jika dipaparkan secara jelas dan runtut. Publik akan membacanya sejak judul, lead, paragraf demi paragraf hingga akhir tulisan.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, unsur menghibur pembaca tetap harus menjadi tujuan utama dalam bercerita.
Membuat Kalimat
Hal itu bisa dicapai kalau kita membuat paragraf dan kalimat yang tidak rumit dan mudah dimengerti. Berikut beberapa hal yang dapat membuat tulisan Anda lebih mudah dibaca:
Sederhana
Jangan membuat kalimat atau paragraf yang rumit. Kalau bisa gunakan kalimat-kalimat pendek.
Kalimat pendek akan mempermudah pesan masuk ke otak. Hindari sebisa mungkin anak kalimat. Karena anak kalimat akan membuat tulisan bertele-tele.
Hindari Jargon
Jargon adalah istilah khusus yang digunakan pada komunitas tertentu. Misalnya, istilah ekonomi yang hanya dimengerti oleh ekonom. Istilah kedokteran yang hanya dimengerti dokter.
Pakai istilah yang bisa dicerna orang umum. Anda sedang membuat cerita, bukan kertas ilmiah.
***
DEMIKIAN sedikit ringkasan materi storytelling yang saya dapatkan di kelas tanpa batas Tempo Institut. Jika ingin lebih jelas, silakan ambil kelasnya.
Mempelajari materi ini di kelas tempo institut lebih menarik dan jelas. Sebab, bukan hanya mmateri yang disuguhkan. Tetapi juga disertai dengan contoh dan penjelasan langsung melalui video.
Semoga tulisan ini bermanfaat.(*)
Bagikan Artikel Ini
Ya ampuuuun materi zaman SMU dulu nih, pas pelajaran bahasa Indonesia 😄😄. Walo rumit, tapi aku suka.. mungkin karena memang hobiku menulis mas.
Poin2nya memang terlihat panjang dan ruwet, tapi sebenernya setelah terbiasa menulis secara story telling, jadi terasa mudah sih. Intinya memang harus dipraktekkan. Ga cuma menguasai teori.
Hehe iya mba. Saya baru belajar nulis baru beberapa tahun. Itupun menulis berita yang stright. Belakangan baru mulai senang membaca cerita bergaya naratif dan storytelling seperti feature dan jurnalisme naratif. Lebih enak dan gurih membacanya. Kebetulan ada kelas premium yang gratis di Tempo Institute, materinya agak panjang sih, tapi beramnfaat. Betul sih kata mba, harus banyak dipraktikkan.