Ketika Mandat Rakyat Sengaja Diabaikan
SEBANYAK sepuluh gubernur akan berakhir masa jabatannya September bulan depan. Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Sebulan sebelum mereka turun takhta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Provinsi diminta mengusulkan tiga nama bakal penjabat sementara (Pj) gubernur ke Kementerian Dalam Negeri.
Selain DPRD, Kementerian Dalam Negeri juga bakal mengusulkan tiga nama. Sehingga akan ada enam bakal calon Pj kepala daerah yang akan diseleksi dan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo untuk dipilih.
Pj yang dipilih presidenlah nantinya akan melanjutkan estafet sebagai kepala daerah hingga pilkada serentak pada November 2024.
Ketentuan tentang Penjabat Gubernur ini termaktub dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023.
Dari sepuluh DPRD tingkat provinsi, hanya DPRD Sulsel yang tidak mengirimkan nama calon Pj gubernur ke Kementerian Dalam Negeri.
Padahal para legislator diberi mandat oleh rakyat untuk menjadi perpanjangan tangan dalam menentukan kebijakan dalam sistem demokrasi bangsa ini.
Mereka berkewajiban menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pengusulan nama Pj gubernur yang akan memimpin Sulsel selama 14 bulan ke depan merupakan salah satu bentuk demokrasi.
Mereka mewakili rakyat untuk memilih dan mengusulkan calon Pj kepala daerah. Sayang sekali itu sengaja diabaikan demi kepentingan politik.
Sebenarnya, DPRD Sulsel sudah memiliki niat untuk mengusulkan nama calon Pj gubernur ke Kemendagri. Para legislator telah membahas pada rapat pimpinan.
Berdasarkan pemberitaan di berbagai media, awalnya telah disepakati tiga nama yakni Abdul Rivai Ras, Bahtiar, dan Aswanto.
Ups, ternyata keliru. Menurut pengakuan anggota DPRD Sulsel Selle KS Dalle di media Tribun Timur, ketiga nama itu belum disepakati. Beberapa fraksi ternyata masih punya satu usulan nama yakni Jufri Rahman.
Sehingga total ada empat nama. Mau tak mau, harus dilakukan voting. Sebab dalam Permendagri, hanya tiga nama yang boleh diusulkan. Satu orang mau tak mau harus terdepak.
Namun, setiap fraksi tidak ingin pilihannya terdepak. Untuk menghindari konflik antar fraksi, muncul ide membatalkan mengirim nama calon Pj ke Kemendagri.
Caranya dengan ramai-ramai absen pada saat paripurna agar tidak kuorum. Dengan begitu, voting tidak dilakukan.
"Makanya "kesepakatan"nya mekanisme atau tahapan sebagaimana yang diatur tatib kita lewati tapi jangan ada keputusan di forum paripurna. Salah satu caranya jangan dibuat quorum," demikian tulis Selle di media Tribun Timur.
Rapat paripurna pun digelar DPRD Sulsel pada 8 Agustus sesuai rencana. Setelah dilakukan skorsing dua kali, peserta rapat tak kunjung kuorum. Empat fraksi absen yakni Gerindra, Demokrat, PKS, dan PKB.
Akhirnya, Ketua DPRD Sulsel Andi Ina Kartika Sari memutuskan mengakhiri sidang dengan konsekuensi tidak ada nama Pj dikirim ke Kemendagri.
Lagi-lagi, hak rakyat melalui anggota DPRD Sulsel untuk turut andil dalam memilih dan mengusulkan pemimpin sementara di Sulsel sengaja diabaikan demi kepentingan politik.
Meski nama yang diusulkan tidak mutlak terpilih, sebab ada juga yang dipilih oleh Kemendagri. Tapi rakyat seharusnya tetap turut andil melalui wakilnya.
Setidaknya, nama yang diusulkan itu berpotensi untuk memimpin Sulsel hingga tahun depan.
Jika seperti ini, masyarakat Sulsel hanya bisa menunggu siapa ditunjuk oleh Kemendagri yang kemudian akan dipilih oleh Presiden untuk memimpin Sulsel sementara.
Semoga yang menggantikan Andi Sudirman Sulaiman hingga pilkada tahun depan tetap yang terbaik. (*)
Gedung DPRD Sulsel (Sumber: Google) |
Bagikan Artikel Ini