Degradasi Nalar Kritis Mahasiswa di Era Digitalisasi
Ada apa dengan LK?
Sebuah pertanyaan yang sekaligus menjadi judul materi Intermediate Training Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar (BEM FT UNM).
Tak bisa dipungkiri bahwa akhir-akhir ini nalar kritis mahasiswa mulai menurun. Berbagai masalah berlalu begitu saja. Mahasiswa yang dulunya, kata para pendahulu, sangat kritis terhadap masalah sosial. Namun, kalau mereka hanya terdiam di dalam sebuah kamar indekos yang mungkin hanya bisa ditembus jaringan internet.
Ruang diskusi sudah mulai berkurang bahkan hilang. Komunikasi antara senior dan junior juga mulai hilang sedikit demi sedikit.
Mahasiswa yang dulunya rajin membaca buku, kini, sudah mulai hilang. Sikap seperti itu bukan hanya terjadi di ruang kelas, tetapi sudah merambah ke lembaga kemahasiswaan.
Yang jauh mendekat, yang dekat menjauh. Yah seperti itulah ungkapan yang sering saya dengarkan di era digitalisasi atau yang lebih kerennya adalah Revolusi Industri 4.0.
Berbagai kemudahan dan informasi yang banyak atau big data yang disediakan dalam smartphone. Tapi, user atau para pengguna smartphone menjadi user stupid kata pemateri, Akbar Falaq.
Gawai semakin cerdas, tetapi penggunanya semakin dungu jika kita meminjam istilah RG.
Waktu mereka malah dihabiskan dengan bermain game online. Malam sampai pagi diasyikkan dengan Mabar. Pagi sampai siang bahkan sampai malam mereka tertidur lelap.
Millenial. Begitulah panggilan bagi mereka karena lahir di tahun 2000-an dan berkembang di era saat ini.
Mereka yang lebih akrab dengan smartphone dan jaringan internet. Mereka yang lebih sering membuat dan membaca status di media sosial di banding buku.
Ruang diskusi semakin berkurang. Jika berkumpul, mereka malah main game online bareng.
Mungkin hal tersebut yang membuat lembaga kemahasiswaan terdegradasi. Budaya masa lalu mulai berubah seiring dengan perkembangan zaman. Apalagi di era revolusi industri 4.0 ini, internet of things, big data, artificial inteligence semakin berkembang.
Tentunya ini menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan bagi para generasi Milenial. Jika smartphone dimanfaatkan dengan baik, bisa jadi melahirkan seorang yang jenius meskipun tidak melalui dunia pendidikan.
Namun ini menjadi tantangan terbesar khususnya bagi dunia pendidikan. Bisa melahirkan sarjana yang nihil pengetahuan. Menghasilkan lulusan yang ingin selalu serba instan. Malas bekerja dan sebagainya.
Sebagai mahasiswa, apalagi pengurus lembaga kemahasiswaan, memiliki beban yang sangat berat di pundak.
Teknologi tidak bisa ditinggalkan ataupun tidak dipelajari. Melainkan harus didekati, dipelajari, dan diapetik hal yang bermanfaat.
Bukan malah sebaliknya. Menjauhi teknologi, tidak bersahabat. Jika hal tersebut dilakukan, bisa saja kita tergerus oleh perkembangan zaman. Kita akan ketinggalan.
Bagikan Artikel Ini