Setelah Sekian Malam Jumat
SETELAH sekian malam Jumat berlalu. Kisah lama yang cukup panjang kembali terngiang. Di perantauan dulu, badannya kekar dan kuat. Menebang pohon di hutan hingga puluhan hektar.
Dapat tanah garapan awal bukan karena membeli. Tapi diberi, lebih tepatnya bagi tanah dari kerja, oleh juragan tanah yang memiliki lahan luas.
Luo, Uranga, Katiboli, Tineke, dulunya belum memiliki nama. Hanya hutan belantara. Setelah dihuni, nama itu pun disematkan satu persatu. Hingga akhirnya menjadi RT, dusun, hingga desa.
Nama desanya Olu. Itu terbentuk empat atau lima tahun lalu. Desa di wilayah tersebut terbentuk setelah saya tinggalkan menempuh pendidikan.
Sebelumnya, masih menggunakan desa sebelah danau. Jadi ketika ingin mengurus sesuatu di kantor desa, harus menyeberang danau. Naik perahu kapal.
Awalnya, di wilayah itu adalah hutan. Penghuninya hanya tumbuhan liar dan binatang liar.
Kemudian ciptaan itu mulai berubah. Pohon lebat nan tinggi ditebang. Setelah kering, dibakar. Lalu lahannya ditanami kakao dan kopi.
Itu tanaman peliharaan jangka panjang. Butuh dua hingga tiga tahun baru bisa berbuah atau memiliki penghasilan.
Akhirnya ditanamlah tanaman jangka pendek. Seperti cabai, tomat, jagung, mentimun, labu siam, kacang panjang, kacang tanah, dan berbagai macam yang bisa berbuah dan berpenghasilan dalam jangka waktu dua hingga tiga bulan.
Luo, Uranga, Katiboli, Tineke, belum dihuni oleh rumah penduduk. Hanya rumah tempat berisitirahat, orang bilang "pondok-pondok" ada di tengah lahan baru itu.
Para perantau pergi pagi, istirahat dan makan siang di pondok-pondok, lalu pulang jelang magrib atau saat matahari terbenam. Tidak jarang mereka bermalam di rumah kecil itu.
Apalagi jelang musim panen. Biasanya binatang liar suka mengganggu tanaman peliharaan. Bahkan merusak hingga melahap yang ingin dipanen.
Setelah beberapa kali panen tanaman jangka pendek, kakao dan kopi juga mulai berbuah. Kemudian dipetik, diambil isinya, dikeringkan, lalu ditimbang dan dijual. Petani dapat uang.
Pondok-pondok tempat petani istrahat kemudian mulai dibenahi. Rumah panggung besar dibangun. Satu demi satu.
Hingga akhirnya menjadi sebuah RT khusus di kebun. Itulah RT Luo. Tempat bapak, ibu, saya dan dua saudara mengadu nasib.
Rumah tidak berdekatan. Satu kebun satu rumah. Jaraknya berhektar-hektar setiap rumah. Sebab memang rumah di kebun. Bukan rumah di perkampungan.
Bapak membawa kami sekeluarga pertengahan tahun 2005 silam. Nama tempat di atas sudah ada.
Seperti Katiboli, Luo, Uranga, Tineke, Lembosa, Sangngali, Kantebu, Kanawu, Tomado, Kalora, Anca, Puro, Langko, Kangkuro, semua sudah ada.
Kami tinggal tepatnya di Luo. Di sana, kami bertani. Tanam kakao, kopi dan aneka jangka pendek lainnya.
Di sana tanahnya subur. Apapun ditanam selalu tumbuh. Bahkan biji cabai yang sudah dimakan, diolah usus dan lambung, lalu dibuang ke tanah dalam bentuk kotoran, masih saja tumbuh setelah beberapa minggu.
Awalnya kami sekeluarga numpang di rumah teman bapak. Beberapa bulan atau mungkin setahun, baru bapak bangun rumah sendiri.
Bapak bangun rumah di tengah kebun. Uang dari hasil panen kakao. Beberapa kali juga kami makan gaji.
Pergi memetik kakao di kebun orang yang lebih dulu memiliki penghasilan. Lalu digaji Rp25 ribu per karung atau di bawah itu.
Atau pergi mengisi tanah ke kantong bibit kakao yang seukuran gelas. Gajinya Rp100 per kantong. Selain itu, hasil tanaman jangka pendek.
Itulah pekerjaan waktu kecil. Di usia sekitar 9 tahun. Masih SD.
Saya tiga bersaudara. Rumah di tengah kebun. Tidak ada tetangga. Tidak ada teman bermain. Hanya kebun yang rumput (kabo-kabo). Atau pergi petik cabai. Bersama dua saudara.
Dalam sehari, bertiga dengan saudara, kadang memetik cabai hingga sekarung kecil. Isinya 50 kati. Kati adalah tempat sabun cuci bekas yang digunakan mengukur cabai waktu itu ketika mau dijual.
Satu kati seharga Rp1000. Sangat bersyukur bisa dapat Rp50000 dari hasil petik cabai. Diantara tiga bersaudara, saya bungsu. Paling muda, paling kecil, dan "paling malas".
Ketika pergi kerja, selalu paling belakang. Kalau pulang, selalu paling cepat. Alasannya karena saya paling muda.
Jika kalah rajin sama dua kakak, wajar. Mereka lebih tua dan jadi panutan. Malah mereka yang akan diejek jika kalah rajin dari adiknya.
Kami bertiga selalu turun rumah setelah matahari terbit. Kadang jam 8. Atau jam 9. Ketika matahari belum tampak, kami masih kaku dibalut selimut tebal.
Cuaca sangat dingin. Bahkan, tanpa hujan sekalipun, air menetes dari atap rumah.
Namun tidak dengan bapak. Dia selalu turun rumah, memakai sepatu booth, mengasah parang, lalu pergi dikebun sebelum matahari terbit. Kadang kami belum bangun.
Begitupun dengan ibu. Selalu bangun pagi. Menyalakan api di dapur, lalu masak nasi dan air. Juga ke kebun memetik sayur.
Entah itu kacang panjang, daunnya, labu, daun labu, dan sebagainya yang bisa dimasak sayur.
Biasanya semua matang pukul 9 atau 10 pagi. Di waktu itu, parang bapak juga mulai tumpul. Jadi pulang. Mengasah ulang parang. Sekaligus juga sarapan pagi.
Kalau sore, bapak pulang kadang setelah matahari terbenam. Prinsipnya, kalau bisa saya selesaikan ini hari kenapa harus disimpan untuk besok.
Begitu seterusnya. Hari demi hari berlalu. Hingga suatu hari, bapak memanjat sebuah pohon enau muda. Tingginya sekitar 5 meter.
Di pucuknya ada umbut. Sayur yang cukup enak. Di pucuk, satu persatu pelepah ditebas.
Setelah beberapa pelepah daun jatuh, ada satu yang meleset dari perkiraan. Menimpa kaki bapak dengan kencang. Tepat di tulang kering. Hingga retak.
Bapak tidak bisa turun. Hanya menjerit kesakitan di ketinggian 5 meter. Tidak ada seorang pun di sana selain dia. Lokasinya di kebun.
Bapak teriak. Minta tolong. Terus dilakukan. Hingga pemilik kebun tetangga mendengar. Infonya sampai di rumah. Salah satu teman baik bapak, namanya om Panus, langsung ke sana.
Panjat pohon itu. Lalu menggendong bapak turun. Setelah itu, bapak tidak bisa jalan selama setahun.
Darwis, kakak pertama saya baru saja lulus SD. Ia berhenti sekolah. Tidak lagi lanjut SMP. Dia lanjut di kebun. Menjadi tulang punggung. Gantikan bapak.
Saya dan Fatma, kakak kedua yang tetap lanjut sekolah. Hingga kuliah. Dan lulus. Fatma selesai D3 keperawatan di Kota Palu. Saya S1 di Makassar.
Kini bapak telah tiada. Dipanggil sang pencipta sekian bulan lalu. Tepat malam Jumat. Tiga bersaudara pun sekarang jauh.
Darwis, kakak pertama tetap di Palu kerja kebun bersama istrinya. Melanjutkan pekerjaan bapak.
Fatma di Maros bersama suami, dua anak, ibu dan nenek. Sekarang honor di salah satu Puskesmas.
Dan saya sendirian ngekos di Kota Makassar. Juga bekerja dengan pekerjaan berbeda.
Semoga amal ibadah bapak diterima. Aamiin.
Bagikan Artikel Ini