Ratapan Hari Raya Idul Fitri

Ratapan Hari Raya Idul Fitri

Lebaran yang disambut ratapan. Tahun lalu lebaran terakhir bersama bapak. Kini tidak lagi. Ia sudah pindah ke alam barzah.

Foto Keluarga saat pulang dari salat id

TAHUN lalu, lebaran masih kami rayakan bersama. Masih sempat mengikat buras dan tumbuk di penghujung ramadan. Makanan khas yang tak pernah absen setiap hari raya.

Meski sempat sakit di awal puasa, kondisi bapak sudah sehat sepuluh terakhir ramadan. Kami lalu merayakan lebaran pada 2 Mei 2022.

Selepas salat id, kami pergi ziarah kubur di makam kakek (ayahnya bapak) dan juga tante (kakak pertama bapak) yang meninggal sembilan bulan sebelumnya. Belum cukup setahun.

Selain itu, juga bersilaturahmi ke rumah keluarga dan kerabat. Tujuannya untuk saling memaafkan. Tentu dengan harapan sama-sama bisa kembali fitri setelah melalui bulan suci Ramadan.

Hampir seluruh rumah keluarga dan beberapa kerabat kami datangi seharian. Kondisi bapak sehat. Mengendarai sepeda motor kesana-kemari. Juga bermain dengan dua cucunya -anak kakak kedua saya.

Mengikat buras dan tumbuk bersama bapak, ibu, dan nenek
Mengikat buras dan tumbuk bersama bapak, ibu, dan nenek.

Tiga hari kemudian, saya pamit ke Kota Makassar untuk kembali bekerja. Saya cium tangan bapak, mengucapkan salam lalu berangkat. Itulah terakhir kali saya melihatnya sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Tujuh hari di kota Daeng, Kamis 12 Mei 2022 malam, ibu menelpon sekira pukul 23.30 Wita. Ibu langsung minta saya pulang.

"Bisaki turun sini (di Maros) sekarang?" pinta ibu dari ujung telepon.

Tidak seperti biasanya ibu memanggil tengah malam. Apalagi malam Jumat, malam yang dianggap sakral. Biasanya, jika ada sesuatu, ibu cukup memberi kabar, kemudian saya diminta pulang besok pagi.

Setelah saya jawab 'iye' telepon langsung diakhiri. Kalimat ibu benar-benar singkat. Saya langsung bergegas menerobos gelap malam.

Di Kota Makassar, kendaraan masih ramai. Lampu jalan bersinar terang.

Memasuki Kecamatan Moncongloe, kendaraan mulai sepi. Lampu jalan berkurang. Jalanan banyak berlubang. Makin jauh makin sunyi. Makin gelap. Rumah penduduk makin sepi.

Apalagi saat memasuki Kecamatan Tompobulu. Makin sepi lagi. Makin gelap. Hanya ada cahaya lampu sepeda motor saya yang sedikit redup. Tidak ada lagi kendaraan lain.

Dalam perjalanan, pikiranku berkecamuk. Terus memikirkan sesuatu dibalik panggilan ibu. Saya berusaha mengusir rasa takut dengan terus merapalkan ayat-ayat Qur'an.

Saat tiba di depan rumah, warga sudah ramai berkumpul. Padahal malam sudah sangat larut. Saya cukup kaget. Jantungku berdetak kencang.

Saya tidak banyak bicara. Setelah parkir sepeda motor di pinggir jalan, saya ucapkan salam ke orang di depan rumah yang berkumpul. Saya langsung masuk ke rumah.

Tiba di depan pintu, suara tangis histeris menyambut. Di dalam rumah tubuh bapak terbujur ditutupi sarung. Keluarga duduk mengelilingi dengan tangis histeris.

Saya berjalan cepat ke ibu yang duduk di samping kepala bapak. Seketika nafasku sesak.

"Bapak sudah tidak ada nak," kata ibu menangis tersedu-sedu memelukku.

Saya tak kuasa membendung air mata. Ikut menangis di samping jasad bapak.

Ternyata ini maksud panggilan ibu yang sangat singkat tadi. Ia tidak berani menyampaikan melalui sambungan telepon. Sehingga segera mengakhiri panggilannya.

Di sisi kanan bapak, kakak saya yang perempuan terus menerus menangis. Memeluk bapak yang ruhnya sudah berpisah dengan jasad.

Beberapa saat kemudian, nenek saya -ibu dari bapak- juga datang. Usianya sudah sangat tua. Sekitar 80-an tahun. Saat melihat jasad bapak, nenek seketika menangis histeris. Berteriak. Lalu pingsan. Baru sadar di pagi hari. Ia terus menangis meratapi kepergian anak ketiganya.

Sementara kakak pertama saya jauh di perantauan, di Lindu, Sulawesi Tengah. Ia terlambat mengetahui kabar duka ini. Di sana tidak ada jaringan. Sehingga tidak bisa lagi melihat wajah bapak untuk terakhir kalinya. Ia baru tiba di rumah dua hari kemudian.

Sejak malam hingga pagi, kami tidak tidur. Suasana di rumah tetap ramai.

Pagi hari, saya bersama sepupu pergi beli perlengkapan mayat seperti kain kafan dan sebagainya. Menjelang tengah hari jenazah bapak dimandikan. 

Bersama om dan kakek, saya ikut memandikan jenazahnya. Mengeluarkan kotoran di tubuhnya sebelum dikafani.

Air mataku sulit terbendung. Melihat tubuhnya terbungkus kain putih polos.

Jenazah bapak disalati setelah salat Jumat. Kemudian dibawa ke pemakaman menggunakan ambulans. Di situlah terakhir saya memegang tubuhnya. Mengantar hingga ke liang lahat.

Bapak dikubur tepat di samping saudara pertama bapak yang meninggal lebih dulu, sembilan bulan sebelumnya.

Pemakaman bapak
Pemakaman bapak.
Makam bapak bersama makam tante (kakak pertamanya bapak)
Makam bapak bersama makam tante (kakak pertamanya bapak).

Kehilangan bapak rasanya sedih sekali. Saya baru saja menyelesaikan pendidikan tahun 2021. Belum sempat membahagiakan dengan baik, bapak kembali ke asalnya tahun 2022.

Bapak menghembuskan napas terakhir di usia 50 tahun. Sementara usiaku baru 25 tahun. Setengah dari umurnya.

Semoga bapak tenang di sana. Semoga amal ibadah selama hidup diterima serta dosa dan kesalahannya diampuni. Aamiin

***

DEMIKIAN tulisan Ratapan Hari Raya Idul Fitri ini. Terimakasih sudah membaca sampai selesai.

Salam,

signature

Bagikan Artikel Ini

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url