Mahabbah Ilahiyah Rabiah al-Adawiyah

HAI kekasih hatiku, jika bukan Engkau, siapa lagi yang kuharap. Kasihilah orang berdosa ini yang mendatangimu. Hai harapan, kebahagian, dan kesenanganku, hati ini telah terkunci untuk selain diri-Mu.

Sudah hampir 4 bulan saya sakit. Istirahat total di rumah. Awalnya tipes. Kemudian kasiwiang. 

Terakhir saat ke rumah sakit lagi, kata dokter, vertigo sentral. Sebagian ahli pengobatan Bugis mengatakan puru otak.

Selama sakit, tanpa aktivitas, sebenarnya cukup membosankan. Tapi mau bagaimana lagi. Mau kerja, tidak bisa.

Di masa ini waktu membaca buku lebih lowong. Apalagi e-book sudah banyak yang bisa diakses melalui aplikasi di android. Bisa dibaca sambil berbaring.

Buku di iPunas dapat dibaca secara gratis. Namun, kadang kalau buku menarik, harus menunggu antrian berhari-hari.

Terlalu banyak yang meminjam. Sementara waktu meminjam tidak sampai seminggu, harus dikembalikan. Lalu dipinjam lagi jika masih tersedia.

Selain di iPunas, saya juga kadang membaca di Google Play Book. Di sini, membaca lebih menarik. 

Beberapa tampilan teks menyesuaikan dengan ukuran android. Di Play Book juga ada banyak koleksi buku.

Hanya saja tidak gratis seperti di iPunas. Tetapi harganya cukup terjangkau. Kadang dua kali bahkan tiga kali lebih murah dari harga buku aslinya. 

Selain itu, juga tidak ada pengembalian buku. Sehingga, jika sedang malas, bisa dibaca esok harinya, pekan depan, atau kapan saja.

Di Google Play Book ini saya menemukan buku yang berjudul "Rabiah al-Adawiyah, Cinta Allah dan Kerinduan Spiritual Manusia". Isinya hanya 167 halaman.

Buku karya Dr Ma'mun Gharib ini diterjemahkan dari Rabi'ah al-'Adawiyyah, Fi Mihrab al-Hubb al-llahi. Cetakan pertamanya tahun 2012.

Membaca buku ini menambah kesadaran dan kesabaran saya menghadapi penyakit ini. Sadar akan adanya pencipta serta segala hal yang terjadi adalah kehendak-Nya. Termasuk sakit yang saya alami.

Membaca buku ini membuatku sadar. Sadar bahwa ada yang lebih menderita dari saya. Juga sadar akan cinta Allah kepada hambanya. Pun cinta seorang hamba kepada-Nya.

Bisa jadi, penyakit ini adalah bentuk cinta dan kasih sayang-Nya. Melalui penyakit ini, Allah menyadarkan saya kalau selama sehat terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan dunia. Sehingga kadang lupa untuk mengingat-Nya.

Buku ini sarat akan cinta dan kerinduan spiritual manusia. Khususnya seorang wanita yang sangat cinta kepada Allah. Yakni Rabiah al-Adawiyah.

Kehidupan Rabiah al-Adawiyah

Rabiah al-Adawiyah adalah seorang Sufi wanita pertama dari Basrah. Wanita tangguh yang mempelopori ajaran mahabbah ilahiyah.

Ia dilahirkan di Kota Basrah, Irak, pada tahun 95 Hijriah / 718 Masehi. Diberi nama Rabiah karena merupakan anak keempat. Semua saudaranya perempuan.

Sebenarnya, Ismail, ayah Rabiah, berharap lahir seorang anak laki-laki. Agar dapat membantu dalam bekerja dan mencari uang untuk keluarga.

Sebab, mereka adalah keluarga yang sangat miskin. Bahkan saat Rabiah hendak dilahirkan, minyak untuk lampu saja tidak ada.

Ismail telah mencoba mendatangi tetangganya untuk meminta minyak, tapi tidak ada hasil. Rabiah terpaksa dilahirkan di malam hari dengan sedikit cahaya temaram.

Meski hidup miskin, ayah dan ibu Rabiah merupakan keluarga yang taat dalam beribadah. Mereka tidak lupa dan selalu bersyukur kepada Allah.

Ismail berhasil mendidik dan membesarkan Rabiah menjadi anak cerdas. Sejak usia belia, Rabiah sudah menghafal Al-Qur'an. Selain itu, Rabiah juga pandai memainkan seruling dan memiliki suara yang bagus.

Saat Rabiah beranjak remaja, Basrah dilanda paceklik luar biasa. Ayah dan ibunya meninggal akibat kekeringan yang melanda.

Karena tidak ada lagi sumber penghidupan, Rabiah bersama saudaranya pergi merantau. 

Di tengah perjalanan, mereka berpisah. Rabiah diculik saudagar dan dijual di pasar budak.

Rabiah laku dipasaran. Sebab selain memiliki paras cantik, dia juga memiliki suara yang merdu.

Ia kemudian dijadikan penghibur oleh majikan yang membelinya. Rabiah merasa tersiksa. Yang dikerjakan bertolak belakang dengan keyakinannya. 

Tapi ia tetap sabar dan selalu mengingat Allah. Selalu berpuasa dan beribadah di malam hari.

Suatu ketika, majikan Rabiah mengintipnya saat sedang berzikir. Majikannya kaget melihat lentera melayang di atas kepala Rabiah. Tanpa digantung. Ruangan itu menjadi terang benderang.

Majikannya pun ketakutan hingga tak bisa tidur. Ia merasa bersalah telah memperlakukan Rabiah dengan kejam.

Keesokan paginya, Rabiah akhirnya dibebaskan. Rabiah sangat senang. Majikannya sempat menawari untuk tinggal bersama dan memberinya harta. Tapi Rabiah menolak. Rabiah memilih pergi.

Setelah bebas dari perbudakan, Rabiah manaruh perhatian besar terhadap perihal zuhud, ibadah, dan rasa cinta kepada Allah.

Terkait pernikahan, ada pendapat menyebutkan Rabiah tidak menikah hingga meninggal. Meski banyak pria yang meminangnya.

Namun ada juga pendapat menyebutkan Rabiah dinikahi oleh Ribah al-Qaisi, seorang ahli zuhud yang masih kerabat dekatnya.

Rabiah meninggal di usia 83 tahun yakni pada tahun 185 Hijriah atau tahun 801 Masehi.

Pada masa menjelang kematian rabiah, banyak orang alim duduk mengelilinginya. Rabiah lalu meminta kepada mereka untuk keluar.

"Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada Allah yang Maha Agung!" kata Rabiah.

Maka semua orang pun bangkit dan keluar. Pada saat mereka menutup pintu mereka mendengar suara Rabiah mengucapkan kalimat syahadat diikuti ayat suci Al-Qur'an QS Al Fajr ayat 27-30.

Setelah itu tidak terdengar lagi suara apapun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabiah telah meninggalkan alam fana. 

Para dokter yang berdiri di hadapannya meminta agar jasad Rabiah dimandikan, dikafani, disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.

Jalan Mendekatkan Kepada Allah

Ibadah adalah jalan cahaya. Jalan yang mendekatkan kepada Allah. Jalan untuk merasakan indahnya ketaatan, keagungan iman, dan manisnya ketakwaan.

Di jalan inilah Rabiah melintas menuju tempat yang diarahkan oleh ruh yang murni. Sehingga, kesibukan utamanya adalah mencintai Tuhan. Dan permulaan dari semua itu adalah tobat.

Tafakur mendorong Rabiah untuk mengetahui keagungan Sang Maha Pencipta.

Dalam tobatnya, dalam zuhud dan ibadahnya, Rabiah merasakan kenyamanan, ketenangan, dan kemurnian jiwa.

Pada masa awal tobat, Rabiah amat takut kepada Allah, sehingga ia begitu intim dengan-Nya, mencintai-Nya penuh rindu, dan merasakan keagungan-Nya.

Rabiah pernah mengadu dalam munajatnya. 

“Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka maka bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga maka haramkan ia untukku. Namun, jika aku menyembah-Mu, wahai Tuhanku, hanya karena-Mu maka jangan Engkau halangi aku untuk menatap wajah-Mu."

Suatu ketika Rabiah al-Adawiyah berlari-lari ke pasar sembari menggenggam sebilah obor menyala-nyala di tangan kanannya dan seember air di tangan kirinya. 

Orang-orang keheranan. "Hai Rabiah, apa yang akan kau lakukan?" kata mereka.

Rabiah menjawab, "Dengan api ini, ingin kubakar surga. Dengan air ini, ingin kupadamkan neraka. Supaya orang tidak lagi menyembah Tuhan karena takut akan neraka atau karena mendambakan surga. Aku ingin setelah ini hamba-hamba Tuhan akan menyembah-Nya hanya karena cinta."

***

DEMIKIAN sekilas kisah Mahabbah Ilahiyah Rabiah al-Adawiyah dalam buku yang berjudul Rabiah al-Adawiyah, Cinta Allah dan Kerinduan Spiritual Manusia ini.

Ada banyak kisah menarik lainnya yang menggugah jiwa saat membacanya. Karena selain membahas kehidupan Rabiah dan cinta Ilahi, juga banyak menceritakan kisah nabi beserta mukjizatnya dan para wali beserta karamahnya.

Sekian ulasan buku ini, semoga bukan hanya bermanfaat bagi saya, tapi juga bagi kamu yang membacanya. Aamiin.(*)

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url