Tiga Puasa, Vertigo dan Tipes Lagi

22 MARET 2023 bertepatan dengan hari Rabu. Jadwal saya libur bekerja di kantor. Juga hari terakhir bulan Sya'ban dalam kalender Hijriyah. Besoknya sudah memasuki 1 Ramadan. Artinya puasa di siang hari sudah mulai dilakukan.

Saya bangun kesiangan. Seperti biasa. Sekitar pukul 11.00 Wita. Saya bergegas pulang kampung. Tidak jauh dari Makassar. Hanya sekitar 43 kilometer. Tepatnya di Tompobulu Kabupaten Maros.

Meski hampir setiap hari Rabu saya pulang bertemu keluarga, kali ini rasanya beda. Mungkin karena bertepatan dengan jadwal mudik sebagian besar perantau di kota terpadat Indonesia Timur. Suasananya pun sangat berbeda. Hampir setiap masjid di pinggir jalan saya lalui, sudah ramai masyarakat membersihkan sambil memutar musik kasidah dan lagu bernuansa islami.

Di rumah, Ibu sudah menangkap satu ekor ayam kampung. Persiapan sebagai lauk untum makan sahur pertama. Ternyata, dua sepupu saya yang kuliah dan sekolah di Makassar juga datang. Tentu dengan seekor ayam dianggap tidak cukup.

Saya dan kakak pertama kemudian pergi mencari ayam potong tambahan satu ekor. Kami dapat. Alhamdulillah sudah cukup.

Senang sekali rasanya bisa sahur bersama ibu, nenek, saudara, ipar, sepupu, juga keponakan. Meski juga merasa sedih karena bapak sudah tidak ada. Kami kekurangan.

Usai makan sahur, seperti biasa, ibu selalu membuatkan energen untuk kami semua sambil menunggu waktu imsak. Tidak berselang lama, adzan subuh berkumandang.

Ibu mengambil wudhu. Disusul sepupu, lalu saya. Kakak saya masih tidur atau menjaga anaknya yang masih kecil. Lagi-lagi teringat sosok ayah yang selalu menjadi imam salat subuh. Kini dia tidak ada lagi. Saya pun jadi imam. Kemudian ibu dan sepupu saya di belakang. Setelah itu tadarusan beberapa ayat.

Rencana ingin langsung ke Makassar. Tapi suhu udara masih dingin. Membuat saya malas mandi. Malah kembali ke kamar dan berselimut. Bangun sekira pukul 9.00 wita.

Saya bergegas mandi lalu berangkat ke Makassar untuk bekerja. Maklum, di kantor tempat saya bekerja, tidak ada waktu libur. Hanya kebetulan pada hari Rabu bertepatan dengan jadwal libur dalam seminggu, sehingga saya pulang.

Di Makassar, seperti biasa saya bekerja. Wawancara dengan sejumlah narasumber, menulis, lalu mengirimnya ke email kantor untuk diterbitkan. Hingga waktu berbuka puasa tiba.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, selama kurang lebih tujuh tahun, Redaksi LPM Profesi UNM selalu menjadi rumah saya di Makassar. Tempat berbuka, sahur, istirahat dan tidur. Tahun ini, buka puasa pertama, kembali saya lakukan di sekretariat ini.

Malam hari, sempat tarawih, lalu pergi wawancara di salah satu kantor narasumber. Di sana dihidangkan kopi. Kami wawancara dan berdiskusi hingga larut malam. Sekira pukul 11.20 Wita, saya ke Warkop. Bertemu sesama wartawan. Melepas penat. Sesekali saya bertanya isu hangat sekaligus evaluasi berita saya yang telah terbit.

Pulang sekira pukul 01.00 Wita. Lagi-lagi saya kembali ke Redaksi LPM Profesi UNM. Sayang, mungkin gegera sudah minum kopi tengah malam, saya susah tidur. Selain itu, faktor media sosial dan WiFi gratis, makin buat saya insomnia.

Hingga menjelang sahur. Beberapa teman di redaksi tersebut bangun memasak. Lalu kami makan sahur. 

Usai makan sahur, sebuah group WhatsApp ramai. Ada agenda liputan pagi. Pukul 09.00 Wita. Tim seleksi Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan bakal mengumumkan 14 nama calon anggota KPU Sulsel.

Lagi-lagi saya masih susah tidur hingga adzan subuh berkumandang. Selepas menunaikan salat 2 rakaat itu, barulah mata bisa terpejam. Tak lupa menjadwalkan alarm mulai pukul 7 hingga 8 sebanyak lima kali berturut-turut. Selain itu, rekan di redaksi juga saya minta untuk dibangunkan di waktu tersebut.

Ini hari kedua puasa. Tepat hari Jumat. Saya bangun pukul 8. Jadi waktu tidur hanya sekira 2 jam. Saya lalu bergegas mandi lalu ke Hotel Mercure, tempat press conference dilakukan. Sayang, meski datang tepat waktu, acara itu tetap molor ke pukul 10 hingga pukul 11.

Usai liputan, salah seorang rekan wartawan senior mengajak mengetik di warung kopi. Tempat biasa kami nongkrong sebelum ramadan.

"Ayokmi ke sana. Ngetik sambil nge-wifi," katanya.

"Bukaji kah? Ka puasa orang," jawabku dengan bertanya. 

"Iya bukaji. Kemarin saya di sana ji ngetik," ujarnya.

Saya pun langsung ke sana. Bertiga. Masing-masing mengendarai sepeda motor.

Saat tiba, ternyata masih tutup. Haha. Pagar tertutup tapi tidak terkunci. Sehingga rekan saya tadi yang membukanya. Di lantai 2 warung kopi itu, kami mengetik. Meski yang punya warkop ada, kami tidak memesan kopi. Memang hanya sebatas mengetik dan meminjam WiFi. Hingga jelang waktu salat Jumat. Kami meninggalkan warkop itu.

Setelah menunaikan salat Jumat, saya kembali ke redaksi LPM Profesi. Di sana, ada WiFi. Selain itu, salah satu ruangannya juga ber-AC. Sehingga cukup nyaman ditempati mengetik di tengah terik di bulan puasa.

Cukup banyak bahan berita hari itu. Sedikit mengantuk saya mengerjakannya. Saya usahakan semua selesai sebelum berbuka. Usai berbuka dan salat magrib saya langsung tidur. Serasa baru baring, saat bangun ternyata sudah pukul 21.00 Wita. Saya merasa lapar. Juga disertai rasa pusing. Saya suruh teman membelikan lalapan. Dengan lahap saya santap nasi putih berlauk ayam goreng.

Setelah makan rasa pusing sudah hilang. Pikirku mungkin gegara lapar. Hehe seperti biasa saya lagi dan lagi ke tempat biasa. Warung kopi. Pulang larut malam. Rencananya kalau pulang jam 2, sekalian makan sahur. Tapi ternyata saya pulang sebelum jam itu.

Saya langsung ke kos. Tidak lama langsung tidur. Seperti biasa, terlebih dulu menyetel alarm pukul 03.00 Wita. Sayang dering alarm itu saya tidak dengar. Bangun pukul 8 pagi. Hari itu saya putuskan tidak puasa.

Usus dalam perut lagi-lagi "menanyi". Di sepanjang jalan Mallengkeri saya telusuri. Tidak ada penjual makanan buka.

Akhirnya saya putuskan kembali ke kos dan memesan makanan melalui go food. Ternyata ada. Memang selama bekerja, saya selalu makan di warung. Kos, benar-benar saya sewa hanya untuk tidur.

Pagi itu, saya kembali merasa sedikit pusing. Tapi masih mampu mengimbangi diri. Dengan harapan, hari itu mau bekerja sedikit santai setelah kemarin pikiran cukup terkuras.

Di redaksi Profesi, kembali jadi tempat mengetik berita. Sebab, di kos, jaringan kurang baik. Di sanalah saya kembali menghubungi narasumber. Setelah menulis dan mengirim beberapa berita saya putuskan untuk tidur siang.

Bangun sekira pukul 17.00 wita. Rasa pusing mulai bertambah. Saya coba berusaha untuk berdiri. Masih bisa. Sore itu, salah satu pimpinan di kantor mengajak ke rumahnya untuk ikut di acara buka puasa bersama. Ia mengundang anak yatim ke rumahnya untuk berbuka. Jaraknya tidak jauh. Hanya berbeda lorong.

Namun, setelah mengendarai sepeda motor, belum sampai jalan raya, rasa-rasanya saya seperti ingin terjatuh dari motor. Susah fokus menyetir. Akhirnya saya putuskan untuk kembali. Khawatir terjadi sesuatu tak diinginkan di jalan raya.

Di redaksi Profesi saya lanjut baring di sofa. Kemudian saya sampaikan ke pimpinan saya di kantor tadi kalau saya pusing dan tidak bisa mengendarai sepeda motor ke rumahnya.

Sambil berbaring saya lanjut menulis berita. Malam itu saya absen nongkrong di warkop. Saya tidur lebih awal.

Hari keempat puasa saya kembali bangun sahur. Kemudian lanjut puasa. Meski rasa pusing makin berat, namun saya masih mampu menahannya hingga waktu berbuka puasa. Barulah setelah berbuka saya langsung muntah-muntah.

Setelah makan sedikit, rasa mual muncul kemudian lagi-lagi muntah. Akhirnya saya putuskan untuk pergi periksa ke rumah sakit. Saya pesan go car. Karena merasa tidak bisa dibonceng sepeda motor. Saya minta tolong ke teman di sekretariat untuk menemani ke Rumah Sakit Haji.

Saat tiba di Rumah Sakit Haji, saya kembali muntah. Sebelum akhirnya masuk ke ruang unit gawat darurat. Saya langsung pergi ke salah satu tempat tidur dan baring. KTP dan karti Indonesia sehat saya berikan ke teman tadi untuk mengurus.

Tidak berselang lama, dokter datang. Mengukur tekanan darah, suhu badan, serta gejala yang saya alami.

"Pusing, mual, juga muntah-muntah," kataku menjawab pertanyaan dokter.

"Apakah di telinga berdengung?" tanya dokter itu.

"Iya dok," jawabku.

"Apakah ada cairan keluar," dokter itu bertanya lagi.

"Tidak ada dok. Hanya kadang berdengung saja," jawabku.

Dokter itu langsung menyimpulkan gejala yang saya alami adalah vertigo. Kata itu baru pertama kali saya dengarkan.

"Penyakit seperti apa itu dok, dan penyebabnya apa?" tanyaku.

"Yah itu tadi, pusing dan mual. Biasanya kalau sering bangun tidur langsung berdiri seperti itu," kata dokter itu.

"Jadi kalau bangun tidur, biasakan duduk dulu sejenak baru berdiri," dokter itu menambahkan.

Ia pun lanjut bertanya apakah saya ingin dirawat di RS atau diberi obat saja lalu pulang.

Dari dua opsi itu, saya merasa mungkin lebih baik pulang. Yang penting saya sudah tau penebab saya pusing dan muntah. Dokter juga memberi empat macam obat.

"Saya pulang saja dok," ucapku.

Setelah itu, dokter itu pun memanggil teman saya tadi untuk pergi mengambil obat yang perlu saya konsumsi. Beruntung saya punya KIS, sehingga semua obat itu gratis.

Saya lalu memesan grab lagi. Kepala saya masih pusing. Baru beberapa meter mobil itu berjalan, saya kembali ingin muntah. Sopir pun berhenti sejanak. Kemudian saya keluar dan lagi-lagi muntah di depan Rumah Sakit.

Sesampainya di Redaksi Profesi, saya langsung baring. Kemudian makan buras yang dibawa teman. Lalu makan semua obat.

Sejak siang, ibu terus menelepon. Mulai khawatir saat saya sampaikan merasa pusing. Pun saat di rumah sakit, ibu menelepon lagi. Ia makin khawatir mendengar saya di rumah sakit. Ia menyuruh saya untuk pulang saja dulu ke Maros. Saya ucapkan besok saja. 

Namun saat saya sudah tertidur setelah minum obat, gawai di samping telinga terus berdering. Sekira pukul 22.30 wita.

Ternyata yang menelepon adalah ibu. Dia sudah berada di depan indekos saya. Kebetulan malam itu saya tidak pulang. Menginap di sekretariat. Saya sampaikan itu. Jaraknya tidak jauh. Cukup saya arahkan saja.

Malam itu juga sekira pukul 23.00 saya pulang. Menggunakan mobil. Ipar yang juga ikut membawa sepeda motor saya.

Sampai di rumah saya langsung tidur. Rasa pusing makin terasa. Hingga keesokan harinya tidak bisa berdiri. Duduk saja susah. Ibu hanya menyuapi saya sambil tidur. Bubur dan telur.

Ketika ingin ke kamar kecil, ibu memegang sampai di depan pintu. Begitupun kembali ke kamar. Selama tiga hari seperti itu. Makan sambil tidur.

Obat dari dokter itu habis. Namun tidak ada perubahan. Kakak saya yang juga perawat memberi obat baru untuk mengatasi rasa pusing itu.

Barulah hari keempat saya bisa duduk meski hanya sebentar. Hari keenam, saya pergi periksa ulang ke Puskesmas tempat kakak saya bekerja. Namun di sana tidak ada dokter spesialis. Akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit dr Dody Sardjoto.

Kebetulan hari itu Jumat. Sehingga tidak sempat lagi ke sana. Sebab jaraknya juga cukup jauh. Dekat Bandar Udara Sultan Hasanuddin. Akhirnya saya baru bisa melakukan pemeriksaan di rumah sakit TNI angkatan udara itu pada hari Senin.

Pagi-pagi ibu menelpon tetangga yang juga kepala dusun untuk mengantar ke rumah sakit itu Senin pagi. Sebab, kondisi saya yang masih pusing belum bisa dibonceng menggunakan sepeda motor.

Pagi itu saya diantar kakak yang juga seorang perawat di puskesmas. Saat tiba di rumah sakit itu, kakak terlebih dulu mendaftar. Sebab saya sebagai pasien baru tidak bisa mendaftar secara daring. Setelah pemeriksaan, barulah ke ruang poliklinik. Di depan ruangan itu puluhan pasien sudah mengantri.

Saya dipanggil sekira pukul 13.10 WITA. Bersama kakak, saya masuk ke ruangan itu. Di dalam, ada dua orang. Sang dokter dan asistennya.

"Apa keluhannya?" dokter itu bertanya.

Tanpa menjelaskan panjang lebar, saya langsung bilang "vertigo".

"Vertigo itu gejala. Apa yang dirasakan? Pusing atau apa?" dokter itu memperjelas pertanyaannya.

"Iye dok. Pusing, mual, muntah, kadang pendengaran berdengung," ucakpu menjelaskan ke dokter.

"Sepertinya tipes. Coba ke laboratorium dulu cek darah," kata dokter sambil mempersilakan saya keluar. Asistennya kembali memanggil pasien lain.

Laboratorium itu tidak jauh dari ruang poli. Di sana tidak ada perawatan. Pintu lab tertutup. Hanya seorang perempuan duduk menunggu di depan lab itu.

"Pencet bel-nya," kata orang itu kepada kakak saya.

Setelah bell dipencet, barulah seorang perawat keluar dari pintu itu. Ia membawa suntik. Lalu mengambil darah melalui lengan kanan saya.

Sejam kemudian, perawat tadi datang sambil membawa selembar kertas hasil uji lab darah. Kertas itu kemudian saya bawa kembali ke dokter tadi.

Setelah memberinya kertas itu, ia langsung menyimpulkan bahwa penyakit yang saya alami adalah tipes. Dokter itu kemudian memberi catatan tiga macam obat untuk diambil di apotik rumah sakit itu.

Selesai lagi pemeriksaan itu. "Jangan banyak bergerak dulu yah. Kembali lagi sini tanggal 11 April," kata dokter itu.

Selama satu Minggu, saya benar-benar istirahat di rumah. Meski sangat membosankan. Tapi demi kesehatan.

Tujuh hari kemudian obat satu papan habis. Waktunya kembali melakukan pemeriksaan. Kali ini saya sudah lebih baik. Bisa menggunakan sepeda motor ke rumah sakit itu.

Karena sudah terdaftar sebagai pasien lama, pendaftaran sudah bisa dilakukan secara daring. Saya berangkat menjelang tengah hari. Toh dokter baru melayani pasien pukul 13.00 WITA.

Seperti pekan sebelumnya, saya kembali mengantri menunggu nama dipanggil. Tibalah nama saya disebut. Saya lalu masuk ke ruang poli. Dokternya masih sama.

"Bagaimana kondisinya?" dokter itu langsung bertanya.

"Alhamdulillah sudah sehat dok. Sudah tidak pusing seperti kemarin," kataku menjawab pertanyaan dokter.

"Coba lihat lidahnya," kata dokter itu.

Saya kemudian mengeluarkan lidah. Dari jauh dokter itu langsung merespon.

"Wihh masih tipes ini. Jangan dulu terlalu banyak bergerak yah. Minggu depan boleh kembali ke sini lagi. Tapi kalau sudah dirasa benar-benar sehat, tidak usah datang. Sini saya kasi lagi obat," kata dokter itu.

Setelah menulis resep obat itu, saya kemudian membawanya ke apotik. Sama seperti pekan sebelumnya. Lalu pulang ke rumah beristirahat.

Sepertinya saya tidak bisa lagi berpuasa hingga Ramadan berakhir. Itu artinya, tahun ini saya hanya bisa puasa selama tiga hari di awal. Namun apa daya, semua di luar kendali terjadi. Saya hanya bisa pasrah. Juga berdoa semoga bisa segera pulih. Dan penyakit ini tidak kembali lagi.

Aamiin.(*)

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url