Sumber Air Makin Sulit

SUMBER air makin sulit. Hujan lama tidak turun. Tanah kering terbelah-belah. Air sumur hampir habis. Kemarau melanda. Masyarakat mengeluh.

Tetangga saya, tidak jauh dari rumah terpaksa membeli air. Rp 2000 per galon. Itu air mentah. Belum bisa langsung diminum.

Air galon itulah dipakai mandi, cebok, dan mencuci. Juga diminum. Tapi terlebih dulu dimasak. 

Sebenarnya tetangga saya itu memiliki sumur. Tapi hampir kering. Mesin dinamo tidak lagi mampu mengisap air.

Di dekat rumah, saya punya sumur. Umurnya sudah puluhan tahun. Sejak saya masih kecil sumur itu sudah ada.

Sumur itu tidak dalam. Hanya sekitar delapan meter. Dulu, airnya banyak. Tapi beberapa bulan terakhir juga sudah berkurang. 

Bersyukur karena saya dan beberapa tetangga masih bisa menikmati airnya.

Di sumur saya ini, ada lima mesin dinamo. Yah, ada lima rumah yang bergantung di sumur ini.

Lima mesin kini bunyi secara bergantian. Ada pagi hari. Siang. Malam. Bahkan subuh.

Harus seperti itu. Jika tidak, mesin hanya berbunyi. Air habis dalam beberapa waktu.

Dengan kejadian seperti ini, emak-emak sudah mulai belajar. Kadang air ada tapi tidak terisap naik. 

Mereka sudah tahu caranya memancing air untuk naik dengan mengisi di tempat pemancingan.

Beberapa hari lalu, seorang pria paruh baya datang ke rumah. Ia meminta air satu tandon setiap hari.

Di belakang rumah, dia ingin membangun perumahan. Bahan bangunan seperti batu, pasir, dan semen sudah siap. 

Begitupun dengan buruh dan segala peralatannya. Hanya saja belum mulai bekerja. Kendalanya adalah air.

Saya sedikit tertawa dan meminta maaf kepada bapak itu. Bukannya tidak ingin berbagi. Tapi kami juga saat ini sedang sekarat air. Untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit.

Setelah melihat air sumur yang tersisa sedikit, juga lima dinamo di atasnya, ia memaklumi. Dengan senyum pamit.(*)

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url