Ketemu Teman Lama, Ternyata Suami Ponakan Lago Adik Mama Saya - Sekitar dua Minggu lalu, om saya menelepon. Dia beri kabar kalau orangtua lagonya sakit tumor dan akan dioperasi di Makassar.
Om saya itu ada di Lindu, Sulawesi Tengah. Sementara lagonya ada di Mangkutana, sebuah kecamatan di Luwu Timur. Dekat perbatasan antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Om saya namanya Pangga. Dia adik kedua mama saya. Karena menikah dengan orang Jawa, jadi lebih sering dipanggil Mas Pangga atau disingkat Maspa.
Sebenarnya yang lebih awal merantau ke Lindu adalah orangtua saya. Kemudian Om Pangga ikut membawa istri dan anaknya.
Karena pertanian sedikit lebih baik di Lindu, istri Om Pangga pun mengajak adiknya sekeluarga. Semuanya orang Jawa. Jadilah pertemuan keluarga baru di Lindu: Bugis Makassar campur Jawa.
Saya cukup akrab dengan lagonya Om saya itu. Namanya Mas Ratno. Juga dengan istri dan anaknya. Kami tetangga kebun, juga tetangga rumah.
Cuman, sejak kuliah, saya meninggalkan kampung tersebut. Saya kembali ke Maros. Lalu ke Makassar. Sesekali pergi ke Lindu kalau ada acara keluarga di sana. Saudara saya yang sulung masih tinggal dan menetap di sana.
Tempat saya di Maros, tidak jauh dari Kota Makassar. Hanya sekitar 40 kilometer atau kira-kira 30 menit mengendarai sepeda motor sampai, jika tidak macet.
Mendengar kabar itu, saya dan ibu ingin menjenguk jika sudah tiba di Makassar. Sayang sekali tidak ada kabar Mas Ratno. Nomor kontaknya tidak ada yang tahu. Bukan tidak ada yang tahu, tapi dia memang tidak punya hape.
Beberapa hari kemudian, saya dengan om saya yang ada di Maros mencoba menghubungi keluarganya di Palu. Meminta nomor yang bisa dihubungi. Kalau tidak ada nomornya Mas Ratno, mungkin ada nomor keluarganya yang sedang bersama dia bisa dihubungi.
Akhirnya dapatlah nomor dari keluarga di Lindu. Ada tiga nomor yang diberikan. Baru nomor pertama coba dihubungi, langsung aktif.
Kabarnya Mas Ratno sudah ada di Makassar bersama orangtuanya. Namun masih numpang di rumah keluarganya di Kota Makassar.
Rumah Sakit Priyama, tujuan orangtuanya untuk dioperasi sedang penuh. Sehingga harus menunggu beberapa hari sampai ada kamar kosong.
Beberapa hari kemudian, om saya mengajak pergi menjenguknya di Kota Makassar. Saya bersama ibu langsung berangkat menjelang waktu dhuhur.
Saat tiba di depan Rumah Sakit Priyama, sejenak menunggu kabarnya. Di ruangan apa atau kamar nomor berapa.
Ternyata dia belum masuk rumah sakit. Sampai hari itu belum ada kamar kosong. Katanya dari cek waktu pagi hari, tapi semua kamar masih terisi.
Kebetulan rumah tempat mereka numpang tidak jauh dari rumah sakit itu. Lokasi rumahnya di Jl Rappokalling Makassar. Hanya berkisar beberapa kilometer. Tidak sampai 5 menit naik sepeda motor.
Ketika sampai di depan rumahnya, Mas Ratno dengan senyum lebar menyambut di pintu pagar.
Lama tidak ketemu. Sesama perantau di Lindu, Sulawesi Tengah, sekarang bertemu lagi di Kota Makassar.
Kami pun bersalaman setelah saya turun dari motor. Dia langsung mengajak masuk ke dalam rumah. Tapi saya terlebih dulu melepas helm, jaket, dan tentunya sendal yang saya pakai.
Mama lebih dulu masuk bertemu dengan ibunya Mas Ratno. Ini kali pertamanya bertemu.
Saat saya masuk ke dalam rumah, langsung disambut seseorang yang wajahnya tidak asing. Sejenak kami saling tatap kemudian tertawa dan bersalaman.
Orang itu adalah Adnan, senior saya di kampus. Dulu kami satu kos-kosan. Hanya beda kamar. Di kampus Adnan jurusan Elektronika, saya Otomotif. Dia senior tiga tahun di atas saya.
Kami sangat akrab. Hampir tiap hari nongkrong sama-sama, juga makan bareng. Selain karena satu fakultas di kampus, kami juga sama-sama orang asli Pangkep. Jadi bisa lebih akrab.
"Lamanya baru ketemu lagi," kataku mengawali pembicaraan.
"Keluargaki sama Mas Ratno?" Saya lanjut bertanya.
"Iya. Nenek saya yang mau dioperasi," kata Adnan.
Orang yang ada di ruangan itu sejenak heran melihat kami berdua langsung ngobrol dan akrab.
"Kalian saling kenal?" Kata Mas Ratno yang sudah duduk lebih dulu.
"Iya, dulu kami satu kos," jawabku.
Ternyata Adnan menikah dengan anak dari kakak Mas Ratno. Mereka belum lama menikah. "Bulan 4 lalu," kata Adnan.
Hanya sekilas membahas tentang pertemuan saya dengan Adnan. Kami dipersilakan duduk di kursi empuk. Di tengah-tengah ada meja.
Tidak lama kemudian, seorang gadis datang membawa tiga cangkir kopi dan teh. Lalu disusul sepiring kue brownies.
Perbincangan mulai hangat. Ibu Mas Ratno juga ikut duduk bersama kami.
Mulai tanya-tanya tentang penyakitnya dan rencana operasi di rumah sakit. Karena ibunya sedang sakit, ia hanya sebentar ikut ngobrol dengan kami. Lalu pamit masuk ke kamar istirahat. Tidak bisa terlalu lama duduk.
Dengan Mas Ratno mulai banyak cerita tentang kondisi kampung di Lindu yang sudah lama kami tinggalkan. Kondisi buah coklat yang sekarang sudah mulai berkurang pasca panen. Dan masih banyak lagi.
Kurang lebih dua jam kami ngobrol, air kopi sudah tandas di cangkir. Menjelang waktu Ashar, kami pamit.
Tak lupa mengajak Mas Ratno jalan-jalan ke Maros, rumah kami.
"Nantilah kalau ada kesempatan. Sekarang belum bisa karena temani orangtua," katanya.
Kami pun pamit. Salaman. Pakai jaket dan helm. Lalu naik motor. Hidupkan mesin, klakson, anggukkan kepala ke tuan rumah, lalu tancap gas pulang ke rumah.(*)