Refleksi Lebaran di Lindu 2 Tahun Lalu

Bersama Irfan, Anto, dan Junaidi di dermaga Danau Lindu.
Bersama Irfan, Anto, dan Junaidi di dermaga Danau Lindu.

MASIH segar di ingatan dua tahun silam. Serunya merayakan hari raya idul fitri. Bukan hanya bersama keluarga, tetapi bersama-sama teman seperjuangan sepenanggungan masyarakat ekonomi kebawah sama-sama petani yang tinggal jauh dari daerah perkotaan.

Tak ada listrik, tak ada signal, tak ada mobil. Sebuah tempat yang benar-benar jauh dari keramaian kota dan canggihnya teknologi.

Kecamatan Lindu nama daerahnya. Lebih tepatnya di Luo, Dusun Kanawu Bawah. Sebuah daerah terpencil yang dikelilingi gunung, salah satunya Nokilalaki dan di tengah-tengahnya ada sebuah danau yang cukup luas. Namanya danau Lindu.

Untuk sampai di Luo, di rumah saya, terlebih dulu naik mobil dari Kota Palu, kemudian transfer ke ojek untuk melewati gunung yang sisi kiri kanannya adalah jurang dan tebing.

Setelah naik ojek, harus lagi naik perahu untuk meyeberangi danau sekitar 1 jam. Kemudian melewati sebuah perkampungan dan hutan-hutan kebun coklat.

Di sanalah kami para perantau dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan bertemu. Mayoritas bekerja sebagai petani. Ada petani coklat, kopi dan sebagainya. 

Kesamaan, suku, agama, dan ras yang membuat hubungan kami di sana erat. Rasa sepenanggungan dan saling tolong menolong.

Selama menginjakkan kaki di daerah tersebut pada 2005 silam, kira-kira hampir 7 tahun saya tak pernah melihat yang namanya mobil. Belum kenal yang namanya telepon genggam, apalagi yang namanya komputer dan internet.

Tapi kehidupan di sana sangatlah tentram. Sejuk dan udaranya segar. Di subuh hari burung-burung sudah berkicau di ranting-ranting pohon-pohon yang tinggi, ayam berkeliaran keluar dari kandangnya, kabut embun di udara bebas, serta cahaya mentari mengintip di sela-sela dedaunan saat fajar terbit.

Suhu yang dingin tak mematahkan semangat kami untuk mandi pagi kala takbir idul fitri di kumandangkan. Memanaskan air, salah satu solusi untuk mengusir suhu dingin agar tak menusuk ke kulit. Meskipun harus menggigil selepas mandi.

Bahagia campur sedih mulai terlihat. Sebagian orang tua bersedih karena ditinggalkan bulan ramadhan yang penuh ampunan ini. 

Sebagian juga bahagia karena telah melewati puasa, bisa makan siang, dan tak kalah menyenangkan karena tiba waktunya untuk pasiar (pergi silaturahmi ke rumah penduduk meminta maaf, minta kue, dan hagalla) saya salah satunya termasuk.

Bersama para pemuda yang tinggal di kebun, sebut saja Irfan, Darwis, Anto, Karmadi, Junedi, Ulla, Tiseng, Yusril, Ashar, dan almarhum Jamal (om muda saya yang telah kembali ke rahmatullah tahun lalu). 

Sebuah kesedihan tersendiri karena tak bisa bersama dan melihatnya lagi. Semoga amal ibadahnya di terima di sisi Allah SWT. Aamiin.

Kami adalah salah satu rombongan jika pergi pasiar. Mulai dari rumah penduduk yang ada di pinggir pantai hingga rumah kecil yang ada di kaki gunung. 

Terkadang saya tidak pulang ke rumah selama 3 hari hanya untuk mengunjungi semua rumah penduduk satu persatu yang ada di kampung tersebut bersama rombongan.

Silaturahmi sangat terasa. Hampir semua penduduk kami kenal. Mulai dari nenek, kakek, bapak, ibu, anak, hingga cucu cicit dalam setiap keluarga kami kenal.

Sangat berbeda jauh dengan di perkotaan. Daerah yang telah di cemari polusi, pergaulan, dan teknologi.

Masyarakatnya hampir tak saling mengenal dalam sebuah tempat. Bahkan tetangga pun kadang tak saling mengenal. Indahnya silaturahmi tak lagi terasa.

Bahkan di kampung saya sendiri, Pangkep dan Maros, seakan tak ada saya kenal kecuali keluarga.

Tahu nama, tahu orangnya, tapi seperti tak saling mengenal. Tegur sapa rasanya sulit. Mungkin karena saya cukup lama meninggalkan kampung halaman. Waktu itu masih kelas 2 SD. Kira-kira sudah 10 tahun lamanya.

Sudah dua tahun tak merayakan lebaran bersama sahabat putra luo. Sebagian juga sudah bepencar. Ada yang sudah menikah, ada yang pergi merantau di Papua, ada di Kota Palu, ada yang sudah meninggal, dan saya sendiri di Makassar.

Sedikit refleksi kisah persahabatan yang begitu indah di sebuah kampung yang jauh dari zaman now saat merayakan hari raya idul fitri. Selamat hari raya idul fitri. Mohon maaf lahir dan batin. To pada salama'ki ri kamponna tauwwe.

***

DEMIKIANLAH memoar refleksi lebaran di Lindu 2 tahun lalu. Terimakasih sudah membaca tulisan ini sampai selesai. Silakan tinggalkan jejak di kolom komentar agar kita bisa saling kenal.

Salam,

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url