Setahun nge-Tribun, Sedih Tidak Bisa Merayakan HUT-nya
BERTEPATAN Hari Pers Nasional 9 Februari lalu, Tribun Timur merayakan hari ulang tahun ke-19. Sayang sekali saya tidak bisa ikut merayakannya. Sedih.
Dua minggu sebelumnya, saya sakit. Tipes disertai sarampa. Orang bugis bilang kasiwiang. Sampai sekarang. Alhamdulillah sudah mulai membaik.
Sepuluh hari setelahnya, saya juga pas setahun bekerja salah satu media terbesar di Sulsel bahkan di Indonesia Timur. Cukup bangga menjadi bagian dari media bertagline "Mata Lokal Menjangkau Indonesia" ini.
Tepat 19 Februari 2022, saya mulai mengikuti pelatihan setelah dinyatakan lolos seleksi tertulis dan wawancara dua hari sebelumnya. Seminggu pelatihan sambil terjun langsung ke lapangan. Kemudian dievaluasi.
Setelahnya, langsung bekerja. Saya dapat desk kriminal dan peristiwa. Itu liputan utama. Namun sekali-kali tetap mobile ke desk lain. Seperti pendidikan, komunitas, ekonomi, juga pemerintahan. Tinggal olahraga belum.
Sebagai jurnalis baru, kami tidak diberikan libur selama tiga bulan. Tiap hari bekerja. Mencari isu, peristiwa, maupun penugasan dari kantor di desk lain.
Awalnya saya mulai ke kantor polisi perkenalan dan saling tukar nomor. Bertanya terkait peristiwa yang terjadi. Entah itu penggerebekan, penangkapan, dan tindak kejahatan lainnya. Itu disebut taruna.
Liputan kriminal dan peristiwa cukup menantang. Meski sebelumnya saya pernah belajar liputan dan menulis berita di kampus, suasana di luar kampus jauh berbeda.
Hampir setiap hari saya mendapatkan informasi terkait penangkapan. Apalagi Kota Makassar masih marak dengan penculikan, pengeroyokan, maupun pembusuran.
Selain itu, peristiwa kebakaran maupun temuan mayat juga mewarnai awal liputan. Pekerjaan yang tidak mengenal waktu dan tak direncanakan.
Pernah suatu kali, dalam sehari terjadi tiga peristiwa kebakaran di tempat berbeda. Berita peristiwa sebelumnya belum lengkap, ada lagi peristiwa yang sama.
Begitupun dengan penemuan mayat. Mulai dari orang tua hingga anak-anak. Bahkan ada kasus remaja aborsi hingga tujuh kali dan janinnya disimpan di kamar selama berbulan-bulan.
Juga peristiwa Kepala Satpol PP yang selingkuh dan merencanakan pembunuhan. Melibatkan dua oknum anggota brimob untuk menembak mati orang yang dekat dengan selingkuhan Kasatpol PP itu.
Dan masih banyak lagi peristiwa di luar nalar. Seperti pemilik rumah yang terlilit utang. Kemudian rumahnya ingin disita karena tidak mampu membayar utangnya. Karena tidak terima, si pemilik rumah itu pun membakar rumahnya.
Tiap hari menulis berita kekerasan. Mengerikan. Juga menantang.
Delapan bulan kemudian, saya pindah desk. Dari kriminal dan peristiwa ke pemerintahan provinsi. Dua bulan setelahnya masuk liputan DPRD dan politik.
Jika sebelumnya liputan peristiwa dan kriminal banyak di lapangan, tidak peduli hujan maupun panas, siang ataupun tengah malam. Sebagai jurnalis pemula, saya merasa mudah menulis berita.
Sebab, liputan peristiwa saya dihadapkan langsung dengan fakta-fakta di lapangan. Kemudian konfirmasi dari narasumber langsung.
Berbeda dengan liputan di pemerintahan dan juga politik. Saya banyak liputan di dalam ruangan. Tidak kepanasan, maupun kehujanan.
Namun tantangannya juga berbeda. Sebagai jurnalis pemula, wawasan yang minim sangat menantang di pemerintahan dan politik. Sebab, isu atau liputan yang ingin saya lakukan harus saya pelajari terlebih dahulu. Minimal background atau masalah yang ingin saya angkat.
Karena kebanyakan di dalam ruangan atau gedung, sangat sering liputan yang ingin saya tuliskan itu bukan fakta di tempat itu. Sehingga sulit untuk menggambarkan jika tidak memiliki wawasan tentang isu itu. Berbeda dengan kriminal dan peristiwa yang semuanya fakta di lapangan.
Dalam liputan politik, peristiwa di Jakarta dilokalkan. Wawancara dengan narasumber terkait isu nasional. Harus lebih sering membaca perkembangan isu nasional dan juga lokal.
***
DEMIKIANLAH cerita tentang Setahun nge-Tribun, Sedih Tidak Bisa Merayakan HUT-nya. Terimakasih sudah membaca sampai selesai.
Salam,
Bagikan Artikel Ini