Menerima bantuan sosial. |
KANTOR Camat Kecamatan Tompobulu sudah ramai sejak pagi, Rabu, 8 Juni 2020. Entah mulai jam berapa. Yang jelas, saat saya tiba setengah sembilan pagi, kursi dalam ruangan sudah hampir penuh. Saya hanya dapat kursi di urutan keenam dari depan.
Sementara jumlah kursi dalam satu baris ada sembilan dan juga sepuluh. Jadi, di depan saya ada sekitar 50 orang lebih duduk mengantri.
Mulai gadis, pemuda, ibu bapak, sampai orang tua yang berjalan bungkuk. Semua sudah mengantri sebelum petugas datang. Mereka di dominasi ibu-ibu.
Saat saya masuk, suasana ruangan masih hening, hanya suara bisik-bisik dan anak kecil yang sekali-kali terdengar. Namun, saat jarum jam melewati angka sembilan, suasana mulai damat.
Ibu-ibu yang dari pagi mengantri mulai bersuara mempertanyakan petugas BLT. “Katanya jam sembilan, ini sudah lewatmi na belum ada,” suara tersebut terdengar dari tengah-tengah ruangan.
Saya hanya duduk tenang sambil membaca artikel dan berita-berita tentang bantuan sosial di Maros.
Saat setengah sepuluh, barulah muncul dua orang berseragam cokelat dengan tulisan nama di dada kanan dan POLRI di sebelah kiri bajunya. Juga seorang berseragam loreng, dan disusul petugas yang menggunakan seragam orange.
Mereka langsung mengisi meja dan kursi di depan yang sejak pagi kosong. Masing-masing mengeluarkan kertas, pulpen, stemple, gawai, dan juga uang tunai.
Polisi yang mengawal pun langsung mengambil pengeras suara dan membuka acara pertemuan itu. Salam, dan ungkapan permohonan maaf langsung terlontar lantaran terlambat tiba.
“Mohon maaf sebelumnya karena ada kendala tadi dalam perjalanan,” katanya.
Selain itu, pernyataan yang membingungkan juga terlontar. Ternyata ini bantuan yang ketiga. Padahal warga baru menerima yang pertama.
“Begini kebijakan dari atas. Langsung dulu yang ketiga. Kalau yang kedua, nanti disampaikan lagi kalau sudah ada,” lanjutnya.
Tanpa banyak basa-basi, pembagian pun langsung dilakukan. Satu persatu warga maju kedepan sesuai dengan urutan kursi.
Mereka yang sudah lanjut usia, dipersilakan lebih dulu maju dan mengambil uang yang sudah menjadi haknya.
Bulan lalu, nenek saya juga seperti itu. Hanya saja karena penglihatannya yang sudah rabun meskipun menggunakan kacamata, terpaksa saya dipanggil untuk mewakilinya.
Yah, dalam kartu keluarga, saya hanya berdua dengan nenek yang usianya sama dengan Negara ini. Nenek sebagai Kepala Keluarga, dan saya anggota.
Sebenarnya, dulu saya bertiga dengan saudara perempuan saya. Hanya saja, setelah dia menikah dua tahun lalu, ia membuat kartu keluarga sendiri bersama suaminya.
Kedua orang tua saya masih berada dalam kartu keluarga di Palu, Sulawesi Tengah.
Setelah saya maju, menandatangani kolom yang sejajar dengan nama nenek saya, kemudian saya di foto bersama “si jago merah”. Uang tersebut langsung saya berikan kepada nenek. Dia tinggal sendirian di rumahnya. Dan sudah cukup tua.
Bantuan ini sangat membantunya untuk hidup. Setidaknya, ada yang bisa ia gunakan untuk membeli ikan dan sejenisnya untuk keperluan hidup.