Pedagang Pisang di Hari Kemerdekaan Indonesia

CUACA sangat cerah pagi ini. Langit membiru. Sedikit pun tidak ada awan. Angin bertiup tanpa henti. 

Beberapa minggu belakangan, bahkan bulan, hujan tidak turun. Kemarau cukup panjang dari biasanya.

Sejak pagi, pedagang sayur dan ikan silih berganti lewat depan rumah. Mereka menjajakan dagangan menggunakan sepeda motor. 

Ada yang singgah. Beberapa hanya berlalu begitu saja membunyikan klakson.

Setelah pedagang sayur dan ikan itu berlalu, muncul mobil pickup. Merayap secara perlahan dari arah barat. 

Bagian belakang mobil itu terpasang tenda. Di bawah tenda, ada berbagai macam pisang.

Tepat di depan rumah, mobil itu berhenti. Sepasang suami istri keluar dari mobil. Mereka adalah langganan pembeli pisang ibu.

Di kebun, tidak jauh dari rumah, ibu menanam berbagai macam pisang. Sebagian besar ditanam almarhum ayah sewaktu masih hidup. 

Sepeninggal ayah, ibu yang melanjutkan merawat kebun. Ada berbagai macam tanaman. Salah satunya pisang.

Setelah turun dari mobil, sepasang suami istri itu langsung pergi ke kebun. Mereka ambil sendiri pisang di batangnya. Menebang. Kemudian membawa ke mobilnya. 

Hanya sekali ibu menemani dan menunjukkan lokasi dan batas kebun. Selebihnya, mereka sendiri yang pergi ambil. Tanpa ditemani.

Ibu tinggal menunggu di rumah.

Hari ini ada tiga tandan pisang mereka ambil. Dua pisang susu dan satu pisang raja.

Pisang susu dibeli seharga Rp 15 ribu satu tandan. Sementara pisang raja lebih mahal: Rp 40 ribu satu tandan. Dalam satu tandan ada sekitar 8 hingga 10 sisir. 

Setelah menyimpan semua pisang di atas mobil, pedagang itu memberi ibu uang Rp 70 ribu. Lalu pergi ke langganan lain.

Beginilah cara mereka merayakan hari raya kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka tetap bekerja seperti biasanya. Mencari nafkah demi anak dan kehidupan dalam rumah tangga.

Jika tidak bekerja, dapur bisa tak berasap. Anak bisa tak makan. Apalagi sekolah yang biayanya makin mahal.(*)

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url